Tuesday, November 30, 2010

Akuntabilitas

Transkripsi wawancara telepon ini saya kira patut dibaca oleh para pendeta dan pengkhotbah. Meski wawancara ini berfokus pada politisi: Mengapa begitu banyak politisi Kristen melakukan skandal sex? Seperti dikatakan Michael Lindsay sendiri, para pengkhotbah juga perlu berwaspada. Tak sedikit pendeta jatuh dalam dosa sex dan pornografi. Saya berpendapat, ini terjadi karena banyak pendeta (khususnya, Evangelical) merasa too powerful untuk dikoreksi oleh orang lain. Bahkan mereka tak merasa perlu punya teman yang dapat mengawasi hidupnya, menjadi sahabat dalam pergumulannya.

Religion. Sex. Power.
By Michael Lindsay and Curtis Chang

Michael Lindsay is a sociologist at Rice University who specializes in issues surrounding leadership, religion, and culture. Lindsay conducted the nation's largest and most comprehensive study of public leaders who are people of faith, and published Faith in the Halls of Power: How Evangelicals Joined the American Elite. He has also written numerous articles and won several prestigious academic prizes and fellowships. He received his M.Div. from Princeton Theological Seminary and his Ph.D. from Princeton University.

It’s a scene so familiar it’s become cliché. Another national politician standing before a podium making another public confession of another scandalous sex affair, often while his wife stands rigidly beside him. It’s an awkward scene for everyone. But there’s another awkward aspect: that there’s a very good chance the politician in question has publicly identified himself as a devout Christian.

Today we’re riffing on the question: Why are so many Christian politicians caught in sex scandals? The issue is not just that Christian politicians are, when it comes to sexual indiscretions, like everyone else. They actually seem worse. In the past four years, of the nine major sex scandals involving congressmen, eight have involved a self-identified Christian -- and most were evangelical, conservative Republicans who campaigned explicitly on faith and family values. Here’s a roll call:

Friday, November 26, 2010

Amin












Amen, the biblical yes, is used, always, in relation to God, the God who established and makes persons firm and secure in eternal purpose and redemptive love. In response to that affirmation we say “Amen” – “Yes.” It is God’s most characteristic word; it is humankind’s most appropriate response. Scriptural citations show that the affirmation is both comprehensive and detailed.

Persons say “Amen” when they want to confirm the acceptance of a task assigned to them by God. When David directed his court prophet and priest to set apart Solomon to the kingship and gave directions on how to do it, one of the men shouted “Amen” (1 Kings 1: 36); that is, “we understand our instructions; we believe that this is the will of God; we will do it!”

Amen is used as a response of the individual to something inward and private with God – a personal yes to God. When Jeremiah was asked by God to be the prophet of reform in the years of Josiah, he gave a single word of response, “Amen” (Jeremiah 11: 5); “Yes, Lord, I will be the person you want me to be in these difficult days.” [Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992), pp. 160-161.]
Sangat disayangkan, amin-aminnya kita seringkali hanya lip service yang disampaikan dalam doa-doa demi untuk enak didengar, supaya orang lain yang mendengar tahu bahwa I am in, atau I agree with you. Padahal amin seperti itu adalah kesia-siaan belaka. Karena ia digunakan in relation to human, instead of God. Amin yang diucapkan bagi, atau sebagai tanggapan pada, manusia, tak bisa dipegang, karena manusia mudah goyah, berubah-ubah sikapnya. Akan tetapi amin yang diutarakan sebagai tanggapan terhadap amin yang berasal dari janji Allah akan meneguhkan hati kita melalui hari-hari tersulit hingga kita mencapai garis akhir. Pada siapa amin anda ditujukan?

Tuesday, November 23, 2010

The value of a man

Karl Barth wrote:
A man may be of value to another man, not because he wishes to be important, not because he possesses some inner wealth of soul, not because of something he is, but because of what he is - not. His importance may consist in his poverty, in his hopes and fears, in his waiting and hurrying, in the direction of his whole being towards what lies beyond his horizon and beyond his power. The importance of an apostle is negative rather than positive. In him a void becomes visible. And for this reason he is something to others: he is able to share grace with them, to focus their attention, and to establish them in waiting and in adoration. Karl Barth, The Epistle to the Romans (London: Oxford University Press, 1960), p. 33.
Banyak orang berpikir untuk menjadi penting, atau dianggap penting, atau kelihatan penting, maka mereka harus berbuat sesuatu, harus duduk di kursi tertentu, harus membikin proyek-proyek besar. Kalau tidak begitu, mereka merasa belum bernilai. Kata-kata Barth di atas perlu kita renungkan dalam-dalam. Ia sedang melawan arus deras pandangan banyak orang. Seorang bernilai bagi orang lain bukan karena sesuatu yang ia miliki, atau apa yang ada pada dirinya, melainkan justru karena sesuatu yang tiada padanya, apa yang bukan berasal dari dirinya. Dalam kemiskinan, dalam pengharapan dan ketakutannya, dalam penantian dan ketergesa-gesaannya, dalam pengarahan diri kepada apa yang berada di luar dirinya, sesuatu yang lebih besar, yang melampaui dirinya. Barth mengingatkan saya pada hymne yang terdapat di Filipi pasal 2, bahwa dengan pengosongan diri seperti Yesus barulah kita bisa berbagi kasih secara genuine; membantu orang lain untuk berfokus bukan pada diri kita lagi, tetapi pada Ia, Sang Penebus yang akan datang kembali.

Monday, November 22, 2010

Menderita dalam komunitas










It’s inhuman to wall yourself up in pain and memories as if in prison. Suffering must open us to others. It must not cause us to reject them. The Talmud tells us that God suffers with man. Why? In order to strengthen the bonds between creation and Creator; God chooses to suffer in order to better understand man and be better understood by him. But you, you insist upon suffering alone. Such suffering shrinks you, diminishes you. Friend, that is almost cruel.
Kalimat di atas diselipkan Elie Wiesel pada salah satu karakter dalam novelnya Gates of the Forest. Yang menarik adalah bagaimana Wiesel memandang penderitaan. Baginya, penderitaan tak sepatutnya dialami seorang diri, ia juga harus dibagi-bagi dengan orang lain dalam komunitas. Seperti sembako aje, dibagi-bagi. Tapi jangan keliru, saya setuju banget dengan Wiesel. Menderita seorang diri tak membuat kita tambah perkasa, tambah suci - holier than thou, atau tambah saleh; sebaliknya, ia memiskinkan. Saya kira Wiesel tak berlebihan dengan mengatakan perbuatan seperti itu mendekati kezaliman.

Power

Power berada di mana-mana. Power struggle dapat kita jumpai dalam setiap relasi antarpribadi. Antara suami-istri, antara ortu-anak, antara guru-murid, antara bos-karyawan, antara pendeta-anggota jemaat yang dilayaninya. Mestinya kita tidak perlu khawatir atau takut akan power. Karena power memang diperlukan dalam kehidupan ini. Sejauh power dipakai dengan arif bijaksana, bukan buat membelenggu orang lain, bukan buat merebut hak orang lain, bukan buat menindas orang lain (dengan kata lain, power abuse), melainkan untuk melayani, mengangkat, meringankan beban, membangun, menyembuhkan, memperkaya. Meminjam Karen Lebacqz, power for bukan power over. James Olthuis dalam ‘Beautiful Risk’ menawarkan term lain, yaitu power-with.

Jadi, sebenarnya kita tidak usah takut pada power. Ketakutan kita pada power malah memberi 'makan’ power yang kita takuti itu. Pikiran-pikiran dan tindak-tanduk kita seakan dihantuinya. Ke manapun kita pergi dikuntitnya. Apapun yang kita lakukan dibayang-bayanginya. Ah, apa kita tidak jadi lumpuh dibuatnya?!

Coba deh cermati vicious circle ini. Makin kita takut, makin besar kuasanya atas kita, makin ia melumpuhkan kita, akibatnya, kita makin takut lagi padanya. Begitu terus, berputar tak henti-henti sampai kita mati sendiri.

Kawan, bukankah kita percaya dan tahu bahwa power terbesar yang tiada duanya di dunia dan akhirat terletak di tangan Tuhan saja, dan bukan di tangan manusia, siapapun dia? Maka, takutlah akan Allah, bukan manusia. Takutlah pada kuasa Allah, bukan pada kuasa manusia. Biarlah kebesaran dan kemuliaan Allah saja yang menguasai hati dan imajinasi kita. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai rohmu.

Wednesday, November 17, 2010

Hauerwas

Stanley Hauerwas is one of my favorite theologians. He, by the way, has almost convinced me I need to subscribe pacifism. It was close, Stan, ha-ha. He is also a prolific writer. Some of his books include, The Peaceable Kingdom (1983), Against the Nations 1985), Resident Aliens (1989), After Christendom (1991), Dispatches from the Front (1994), Christianity, Democracy and the Radical Ordinary (2008), and most recently Hannah's Child: A Theologian's Memoir (2010). Here is an interview with Hauerwas at Duke University.

Keluhuran dalam penderitaan

Eugene kembali mengingatkan saya akan betapa pentingnya penderitaan dalam kehidupan Kristen. Baca sub-bagian Dignity dalam pasal III Five Smooth Stones for Pastoral Work.

“Suffering is an event in which we are particularly vulnerable to grace, able to recognize dimensions in God and depths in the self. To treat it as a ‘problem’ is to demean the person” (p. 139).

Kebanyakan dari kita melihat penderitaan sebagai masalah untuk dipecahkan, untuk diperbaiki, untuk dicari jalan keluarnya. Kita menghargai solusi cepat. Bukankah di mana-mana orang berpikir seperti itu? Dokter mana yang mampu memberikan obat manjur, begitu dimakan seketika sembuh, ia yang kita cari. Kalau perlu, saking cepatnya, hingga kita tidak ingat lagi bahwa kita pernah menderita. Ide dasarnya adalah buat penderitaan pergi secepat-cepatnya, tinggalkan segera, sudah itu lupakan. Pertanyaannya, apakah itu nyata? Cobalah pikirkan ulang, apakah benar duka lara seorang yang barusan kehilangan kekasihnya bisa dikelola seperti mengelola sebuah perusahaan? Jangan-jangan hari ini Gereja lebih mengenal teknik manipulasi ‘grief management’ ketimbang berusaha untuk saling menanggung beban satu sama lain, ketimbang melatih kesabaran (longsuffering). Seriuskah kita menanggapi penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita?

Terima kasih pada Eugene yang mengajak saya kembali pada Ratapan, sebuah kitab yang agaknya ‘neglected’ bagi banyak Kristen. Dalam kitab tersebut penderitaan justru dipandang sebagai pengalaman yang luhur. Penderitaan dihadapi, ditemui. Ratapan tak mau memberikan kita jalan keluar, ia juga tak berpretensi untuk ‘membantu’ kita; sebaliknya, ia mengajar kita untuk meresponi penderitaan sebagai sesuatu yang signifikan. Ratapan tak mengizinkan kita mengambil sikap ‘hanya numpang lewat’ terhadap penderitaan, karena ketika itu kita sedang mengalami kemuliaan Kristus yang nampak pada salib-Nya. Ingat Injil Yohanes, di salib Yesus diangkat, ditinggikan, diagungkan. Tentunya berhadapan dengan Kristus mahamulia, kita tak sudi pergi cepat-cepat. Jika kita, pelayan-pelayan gerejawi, memahami hal ini dengan baik, saya percaya tanggapan kita terhadap penderitaan orang lain akan berbeda dari yang dunia ini tawarkan. Kita mungkin akan kurang berbuat (do less), tetapi akan lebih menjadi (be more). Dengan kata lain, dalam pelayanan kita akan lebih menghargai si penderita.

“By rooting the pastor in a way of taking suffering seriously, it encourages the ‘longsuffering’ of pastoral work, gives meaning and dignity to the person who suffers, and leaves the healing up to God in Christ on the cross” (p. 141).

Tuesday, November 16, 2010

The possibility

An interview with Eugene Peterson at Luther Seminary.



Listener panel

Tentang pendampingan

Tugas seorang rohaniwan adalah mendampingi orang yang sedang menderita, berbagi dengan kesusahannya, menyelami nyeri dan absurditas yang ia rasakan, berjalan dengannya menuruni lembah kekelaman. Seorang rohaniwan tak dipanggil untuk mengangkat penderitaan orang lain, meminimalkan, atau meringankan bebannya. Model atau tauladan kita ialah Yesus Kristus yang bersedia menanggung penyakit kita; memikul kesengsaraan kita (Yesaya 53: 4). Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh seorang rohaniwan sebenarnya mengintensifikasi kapasitas orang yang sedang menderita untuk menyelami penderitaannya; memampukan ia untuk merasakan nyeri; menyobek tirai yang membentang di antara kehidupan dan sakit. Seorang rohaniwan yang berupaya menukar pendampingan melewati lembah kekelaman ini dengan placebo atau obat tenang tak lain ialah seorang pengecut. Atau dengan metafor lain: Melakukan itu sama seperti menggambar graffiti di dinding lembah kekelaman untuk menarik perhatian orang yang sedang berjuang melaluinya.

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992), pp. 135-136.

Monday, November 15, 2010

Teo-logi

















Charles Spurgeon adalah pengkhotbah tersohor abad ke-19. Di sebuah website yang didedikasikan baginya terdapat pernyataan seperti ini: “Jika di Amerika ada D. L. Moody, maka di Inggris ada Charles Spurgeon.” Sejak berumur 19 tahun Spurgeon telah berkhotbah kepada orang banyak. Ada catatan yang mengatakan bahwa ia pernah berkhotbah di hadapan 24,000 orang. Ketika Gereja Metropolitan Tabernacle berdiri, ribuan orang berkumpul setiap hari Minggu selama 40 tahun untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Dengan tulisan pendek ini, saya hendak memperkenalkan seorang perempuan yang jarang kita dengar namanya, namun yang pengaruhnya begitu besar terhadap Spurgeon.

Ketika berumur 15 tahun, Spurgeon menjadi guru piket (usher) dan pelajar di Newmarket, Cambridgeshire. Di sanalah, menurut pengakuannya, ia mendapat pelajaran teologi pertama dari seorang perempuan tua penganut 5 pokok Calvinisme ala Baptist ketat bernama Mary King.

Yang mengagumkan, Mary King, dipanggil juga ‘the cook,’ sebenarnya hanya seorang pembantu dan tukang masak di sekolah Newmarket. Meski begitu ia memiliki pemahaman Alkitab yang menyeluruh. Pelajaran teologi ia peroleh terutama dari The Gospel Standard (mungkin sebuah jurnal Kristen) yang ia baca secara teratur.

Seperti telah saya katakan di atas, tak banyak orang mengenal Mary King. Saya pun baru menemukannya belakangan ini. Namun demikian, pengaruh Mary King terhadap kehidupan pelayanan Spurgeon tak dapat dianggap kecil. Cobalah baca apa yang dikatakan Spurgeon sendiri mengenai Mary King:
She liked something very sweet indeed, good strong Calvinistic doctrine, but she lived strongly as well as fed strongly. Many a time we have gone over the covenant of grace together, and talked of the personal election of the saints, their union to Christ, their final perseverance and what vital godliness meant; and I do believe that I learnt more from her than I should have learned from any six doctors of divinity of the sort we have nowadays.
Spurgeon percaya bahwa pelajaran teologi yang ia dapati dari Mary King lebih banyak daripada yang mungkin ia peroleh dari 6 doktor teologi sekalipun. Tidakkah ia luar biasa?

Mungkin kita pernah merasa minder dan berkata, “Ah, siapalah saya hanya seorang awam.” Kita merasa inadequate untuk mengajar orang lain. Kita kan bukan pendeta. Kita tidak terpelajar. Kita tak pernah mengecap pendidikan teologi formal. Dan masih banyak excuses lain yang bisa kita daftarkan di sini. Sebagian dari daftar itu tentu saja ada benarnya. Memang benar bahwa kebanyakan kita tidak berpendidikan teologi formal. Benar juga bahwa sebagian dari kita hanya tamatan high school. Tapi siapa bilang seorang tamatan high school tak pantas bicara teologi. Siapa bilang seorang yang tak berpendidikan teologi formal mesti tutup mulut dan tak usah peduli pada urusan-urusan doktrin. Apakah teologi telah menjadi monopoli kaum elit?

Di Kisah Para Rasul pasal 18 ada pasangan suami istri bernama Akwila dan Priskila. Ingat, mereka pun bukan kaum terpelajar. Mereka hanya pengusaha tenda yang sehari-harinya berurusan dengan transaksi dagang, order, berbagai jenis kulit, dan material tenda lainnya. Namun demikian, status dan pekerjaan sehari-hari mereka tak lantas membuat mereka terbelakang dalam soal-soal doktrin Kristen. Lukas, penulis Kisah Para Rasul, dengan lugas mengatakan bahwa Priskila dan Akwila mampu menjelaskan Jalan Tuhan dengan lebih akurat (lihat ayat 26; terjemahan yang lebih baik dari kata Yunani ‘akribesteron’ adalah secara lebih akurat, bukan seperti LAI menerjemahkannya ‘dengan teliti.’) ketimbang Apolos melakukannya. Padahal Apolos adalah seorang terpelajar dari Alexandria - Mesir, seorang yang sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci.

Kalau begitu, teologi, doktrin Kristen, akurasi, kebenaran seharusnya tak lagi kita pandang sebagai urusan dan tanggung jawab pendeta dan teolog tetapi juga urusan dan tanggung jawab kita bersama. Doktrin gereja mestinya menjadi concern setiap orang yang mengaku percaya pada Yesus Kristus.

Monday, November 8, 2010

Berkhotbah dengan air mata

Kemarin, ketika menyampaikan khotbah, saya menangis. Air mata saya mengalir cukup deras. Pernah dulu, kira-kira tiga tahun silam, saya mengalami hal yang sama. Saya merasa sangat vulnerable, namun Firman Tuhan memberikan assurance. Saya merasa tak pantas melayani, namun Tuhan masih sudi menerima saya. Perlakuan semacam dan kesadaran tersebut tak dapat saya elakkan benar-benar menggetarkan hati. Saya terharu. Saya menangis.

Kali ini terjadi ketika dalam khotbah saya tiba pada sebuah point bahwa orang-orang kepercayaan Tuhan sesungguhnya sangat dikasihi, dihargai, dan dipercayai-Nya. Problems yang saya hadapi belakangan membuat saya jatuh pada apatisme. Saya menjadi sombong, merasa benar sendiri. Saya lupa diri. Tapi kemudian saya teringat kawan saya, Karl Lin, yang walau telah berusia 60 tahun masih bertekad keras untuk melayani jemaat Tuhan dengan segenap hati, apapun tantangan yang ia hadapi, diperlakukan kasar dan tak pantas oleh orang-orang di gerejanya, ia masih berusaha memperlihatkan sikap Kristus yang lemah lembut, dan memandang pekerjaan pelayanan sebagai pekerjaan yang amat luhur. Ia berkata pada saya, “Ketika kita berkhotbah, Tuhan sedang memakai kita. Ingat itu! Ketika itu tiada pribadi yang lebih penting dari pada Tuhan sendiri.”

Jika Karl memiliki high view mengenai pelayanan, bagaimana dengan saya sekarang? Bagaimana pula dengan teman-teman saya di gereja ini, apakah mereka masih memiliki kekaguman dan keseriusan yang ada pada Karl? Perasaan gagal namun masih diberi kesempatan, haru akan kesabaran dan kasih Tuhan, menyebabkan air mata saya malam itu tak tertahankan lagi.

Monday, November 1, 2010

Run!

Hebrews 11: 39 – 40
39 And all these, though commended through their faith, did not receive what was promised, 40 since God had provided something better for us, that apart from us they should not be made perfect.

Setiap orang Kristen, tanpa terkecuali, dipanggil untuk berlari dalam perlombaan. To run the race that is set before us. Ayat 39-40 memberikan satu motivasi penting untuk berlari sampai kita mencapai garis finish.

Something better for us
All these, mereka semua. Siapa yang dimaksud dengan mereka semua? Mereka semua adalah para saksi iman yang disebutkan dalam Hebrews 11. Mereka adalah Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Rahab, Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud, Samuel dan para nabi. Penulis tentu saja tak memberikan complete list dari para saksi. Sebab katanya, jika ia harus melakukannya, ia akan kekurangan waktu. Baik, mari kita lanjutkan pembahasan ini.

Penulis berkata selanjutnya bahwa mereka semua tidak menerima apa yang dijanjikan. Lho, mengapa? Apakah mereka quit di tengah jalan? Apakah mereka gagal mencapai garis akhir? Tidak. Ayat 39 berkata bahwa iman mereka telah memberikan pada mereka suatu kesaksian yang baik. Jadi, bukan karena kesalahan mereka, jika mereka tidak menerima apa yang dijanjikan. Lalu mengapa? Ayat 40 menjawab pertanyaan kita. Sebab Allah telah menyediakan something better. Apa yang dimaksud dengan something better? Temukan jawabannya di pasal 11, ayat 10, karena iman Abraham menantikan tanah yang lebih baik, yaitu sebuah kota yang berfondasi, dan yang mana Allah sendiri adalah pendirinya. Ditegaskan lagi dalam ayat 16, karena iman mereka semua merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu tanah air surgawi. Allah telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka. Sebuah kota yang oleh St. Augustine disebut De Civitate Dei. Sampai di sini segala sesuatu nampaknya makes sense. Tapi tunggu dulu. Perhatikan baik-baik, penulis tak hanya berkata something better. Ia berkata, “something better for us.” Seandainya saja ia berkata something better for them, itu tidaklah sulit kita pahami. Sebab memang begitu line of thought-nya sejak tadi. Okay, sekarang bagaimana frase itu sebaiknya dimengerti?

Sebenarnya ayat 39 dan 40 merupakan kalimat pengait antara mereka, para kudus yang hidup di zaman Perjanjian Lama dan kita, para kudus yang hidup di zaman Perjanjian Baru. Jadi seperti ada cord of faith yang teruntai tak terputus. Mereka dan kita ternyata tak berdiri sendiri-sendiri; sebaliknya, mereka dan kita berkait erat. Allah menyediakan something better tak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita. Namun, sebagaimana ungkapan Prancis, noblesse oblige: pada keluhuran melekat kewajiban, baiklah kita memerhatikan pula kewajiban apa yang dipercayakan pada kita. Apakah itu? Ayat 40 berkata bahwa apart from us, mereka tak akan menjadi sempurna. Dihubungkan dengan metafora perlombaan lari, ini berarti kesempurnaan yang dijanjikan Allah baru akan tercapai jika semua orang tebusan-Nya menyelesaikan perlombaan imannya. Para kudus dalam Perjanjian Lama telah menyelesaikan bagian mereka. Mereka tidak sempurna, tapi iman mereka telah memberikan kesaksian yang baik, yaitu dengan menyelesaikan bagian mereka. Sekarang tinggal kita yang hidup di zaman Gereja, ya kita pun harus menyelesaikan bagian kita, malahan kitalah barisan runners terakhir yang diharapkan dapat menyentuh garis akhir. Ingatlah ini, Sobat, tanpa kita mereka tak dapat sampai pada kesempurnaan. Maka tetaplah berjuang dan capailah garis akhir itu.