Thursday, July 29, 2010

Mengapa para pendeta tidak mencari bantuan

Saya baru membaca catatan singkat Kenneth Maresco, “Accountable Pastors/Accountable Churches,” yang disampaikannya dalam 2005 Sovereign Grace Pastor’s Conference, dari sebuah blog yang mempromosikan church planting. Dalam post itu dikatakan ada 30 alasan mengapa para pendeta tidak mau mencari bantuan bagi masalah-masalah dalam kehidupan mereka. Wah ternyata banyak juga ya. Catatan itu telah saya terjemahkan secara bebas. Selamat merenung!
  1. Saya ngga perlu bantuan untuk yang satu ini; saya tahu kok apa yang harus saya lakukan.
  2. Apakah saya memang perlu bantuan? Saya kan pendeta.
  3. Saya akan mengakuinya kalau saya sudah benar-benar bertobat.
  4. Saya punya Alkitab, saya punya Roh Kudus, saya harus bisa mengatasinya sendiri.
  5. Yang kulakukan bukan dosa “besar,” maka itu juga bukan urusan besar.
  6. Yang kulakukan bukan dosa yang berbahaya, cuma sekali-sekali.
  7. Mereka hanya akan memberitahukan apa yang sebenarnya saya sudah tahu.
  8. Saya bisa berubah sendiri. Saya ngga benar-benar perlu bantuan orang lain.
  9. Ini sesuatu yang saya masih usahakan.
  10. Saya sedang mengalami kemajuan jadi saya ngga perlu menceritakan hal ini.
  11. Saya hanya perlu melaksanakan nasihat yang telah saya terima.
  12. Kalau saya bisa lolos itu bukan kemampuan saya, tapi mungkin juga yang saya lakukan itu bukan suatu dosa.
  13. Saya sudah melihat masalah hati saya secara jelas.
  14. Kan orang lain sudah tahu masalah ini, buat apa saya mengakuinya lagi?
  15. Saya sudah bertobat dan berubah.
  16. Saya sudah mengakui dosa saya pada Allah dan istri saya.
  17. Saya telah mengakui dosa saya pada orang yang mengenal saya dengan baik.
  18. Ada masalah lain dalam kelompok itu yang lebih besar daripada ini.
  19. Mereka ngga benar-benar mengerti pergumulan saya.
  20. Saya punya banyak tanggung jawab. Saya tidak mau buang-buang waktu dan tenaga. Saya harus menjadi penatalayan yang baik atas waktu dan tugas-tugas yang dipercayakan pada saya.
  21. Mereka tidak bisa bantu saya. Ini terlalu berat buat mereka.
  22. Saya tidak yakin apakah saya bisa mempercayakan informasi ini pada mereka.
  23. Mereka ngga akan menghormati saya lagi kalau saya menceritakan hal ini.
  24. Mereka sibuk, terlalu sibuk untuk mendengarkan pengakuan saya sekarang.
  25. Saya tidak tahu apakah saya memang bisa berubah.
  26. Saya tidak percaya teman-teman dalam kelompok saya juga kuat dalam hal ini. Jangan-jangan mereka sama saja dengan saya.
  27. Mereka ngga bakal menanggapi dengan baik kalau saya menyampaikan pengakuan dosa yang sama lagi.
  28. Apa yang akan terjadi kalau mereka sampai tahu hal ini?
  29. Saya ingin punya reputasi hidup baik. Saya ingin orang berpikir bahwa saya bisa mengatasi semua masalah kehidupan dan mengenali dosa-dosa saya sendiri.
  30. Saya tidak mau kelihatan buruk, saya tidak mau kelihatan buruk, saya tidak mau kelihatan buruk.

Wednesday, July 28, 2010

Mengenali penyembahan berhala dalam hasrat

Tulisan berikut ini saya terjemahkan secara bebas dari tulisan John Piper berjudul Discerning idolatry in desire: 12 ways to recognize the rise of covetousness. Link kepada tulisan tersebut bisa anda dapatkan di sumber post ini.

Mengenali penyembahan berhala dalam hasrat
12 jalan mengenali terbitnya dosa mengingini
Oleh John Piper

Kebanyakan kita menyadari bahwa menikmati sesuatu selain Allah, dari hadiah terbaik hingga kesenangan liar, dapat menjadi penyembahan berhala. Paulus berkata dalam Kolose 3:5, "Keinginan kuat untuk memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain (covetousness) merupakan penyembahan berhala."

Covetousness berarti menghasratkan sesuatu selain Allah dengan cara yang salah. Tapi apa arti "dengan jalan yang salah"?

Alasan mengapa ini penting mencakup dua: vertikal dan horisontal. Penyembahan berhala akan menghancurkan hubungan kita dengan Allah. Dan ia akan menghancurkan hubungan kita dengan orang lain.

Semua masalah relasional manusia - dari pernikahan dan keluarga hingga pertemanan - berakar dalam aneka ragam bentuk penyembahan berhala, yakni, mengingini hal-hal selain Allah dengan jalan yang salah.

Ini usaha saya untuk berpikir secara alkitabiah menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan-jalan yang salah itu. Apa yang membuat sebuah kenikmatan bersifat pemberhalaan? Apa yang menyebabkan sebuah hasrat menjadi covetousness, yang adalah penyembahan berhala?

1. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia dilarang oleh Allah. Sebagai misal, perzinahan, percabulan, pencurian, dan kebohongan dilarang oleh Allah. Beberapa orang pada saat-saat tertentu merasa perbuatan-perbuatan ini mendatangkan kesenangan, kalau tidak, tentu kita tak akan melakukannya. Tak seorang pun berdosa karena kewajiban. Namun kesenangan yang demikian merupakan tanda penyembahan berhala.

2. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak sesuai dengan nilai dari apa yang dihasratkan. Hasrat besar akan hal-hal yang tak bernilai besar merupakan tanda bahwa kita mulai menjadikan hal-hal tersebut berhala.

3. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak dipenuhi dengan ucapan syukur. Ketika kenikmatan kita akan sesuatu cenderung membuat kita tidak berpikir mengenai Allah, ia bergerak menuju penyembahan berhala. Namun jika kenikmatan itu membangkitkan perasaan bersyukur pada Allah, kita terlindung dari penyembahan berhala. Perasaan bersyukur bahwa kita tak pantas menerima pemberian ini atau kenikmatan ini, namun bisa memperolehnya secara gratis dari anugerah Allah, adalah bukti bahwa penyembahan berhala sedang dikendalikan.

4. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak melihat dalam pemberian Allah bahwa Allah sendiri yang seharusnya lebih dihasratkan daripada pemberian itu. Jika pemberian itu tidak menghidupkan perasaan bahwa Allah, Sang Pemberi, lebih baik daripada pemberian-Nya, ia menjadi berhala.

5. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia mulai terasa sebagai hak, dan kesukaan kita menjadi suatu tuntutan. Bisa jadi suatu kesukaan merupakan hak. Bisa jadi orang lain harus memberikan anda kesukaan ini. Boleh jadi benar memberitahukan mereka hal ini. Namun ketika semua ini naik sampai ke level tuntutan-tuntutan yang disertai kemarahan, penyembahan berhala pun terbit.

6. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia menarik kita jauh dari tugas-tugas panggilan kita. Ketika kita melulu menghabiskan waktu mengejar sebuah kenikmatan, mengetahui bahwa hal-hal lain, atau orang lain, harus kita perhatikan, kita sedang bergerak menuju penyembahan berhala.

7. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia membangkitkan perasaan sombong bahwa kita bisa mengalami kesukaan ini sementara orang lain tidak. Ini khususnya benar berkenaan dengan kesukaan dalam hal-hal religius, seperti doa, membaca alkitab, dan pelayanan. Menikmati hal-hal yang kudus itu sangat baik. Tapi merasa sombong bahwa kita bisa itu bersifat pemberhalaan.

8. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia cuek atau tak peduli pada kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan orang lain. Kenikmatan yang suci peka akan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan bisa meninggalkan kesenangan yang baik untuk sementara waktu demi membantu orang lain memperolehnya. Seseorang mungkin meninggalkan doa pribadinya untuk menjadi jawaban bagi doa orang lain.

9. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tak menginginkan Kristus dibesarkan sebagai kenikmatan tertinggi melalui kenikmatan itu. Menikmati apapun kecuali Kristus (seperti pemberian-pemberian-Nya yang baik) membawa risiko tak terelakkan membesarkan pemberian di atas Sang Pemberi. Satu bukti bahwa penyembahan berhala tak sedang terjadi adalah hasrat yang jujur bahwa ini tak terjadi.

10. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tak mengerjakan kemampuan lebih dalam akan kesukaan yang suci. Kita masih orang berdosa. Kita menyembah berhala jika kita puas dengan dosa. Maka kita menginginkan transformasi. Beberapa kenikmatan menciutkan kapasitas kita akan sukacita yang kudus. Lainnya memperbesar kapasitas tersebut. Beberapa memperbesar atau memperkecil tergantung dari bagaimana kita berpikir mengenai mereka. Ketika kita tak peduli apakah sebuah kenikmatan menjadikan kita lebih suci atau tidak, kita sedang bergerak menuju penyembahan berhala.

11. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika kehilangannya menghancurkan kepercayaan kita pada kebaikan Allah. Ada kedukaan karena kehilangan yang tidak bersifat pemberhalaan. Namun ketika kedukaan mengancam keyakinan kita pada Allah, ini menandakan bahwa kehilangan hal itu menjadi sebuah berhala.

12. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika kehilangannya melumpuhkan kita secara emosional sehingga kita tak bisa berelasi dengan kasih dengan orang lain. Ini merupakan dampak horisontal dari kehilangan keyakinan pada Allah. Sekali lagi: kedukaan besar bukanlah tanda pasti penyembahan berhala. Yesus juga memiliki dukacita besar. Namun ketika hasrat kita disangkali, lalu dampaknya adalah ketidakmampuan emosional untuk melakukan apa yang Allah kehendaki agar kita lakukan, tanda-tanda peringatan terhadap penyembahan berhala sedang berkedip.

Bagi diri saya sendiri dan bagimu, saya mendoakan peringatan dari 1 Yohanes 5:21, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala."

Sumber: Desiring God

Tuesday, July 27, 2010

Megilloth

Pembahasan mengenai buku Song of Songs atau Kidung Agung berakhir sampai di sini. Setelah ini EP membahas kitab Ruth. Mungkin anda belum tahu mengapa EP membahas kitab-kitab tertentu saja dalam buku ini. Begini. Dalam alkitab Ibrani ada yang dikenal dengan nama "Megilloth." Megilloth terdiri dari 5 gulungan kitab, yaitu Song of Songs, Ruth, Lamentations, Ecclesiastes, dan Esther. Menurut EP, the appropriateness of the Megilloth as documents for pastoral work is suggested by their use in Judaism, where we find that they are assigned readings at five of Israel’s annual acts of worship. (p. 14)

Nah oleh orang Ibrani Megilloth dipakai sebagai bacaan dan panduan dalam ibadah. Bagi EP kitab-kitab tersebut juga sangat bermanfaat bagi pastoral work:

Learning how to love and pray in the context of salvation (Song of Songs); developing an identity as a person of faith in the context of God’s covenant (Ruth); dealing with suffering in the context of redemptive judgment (Lamentations); unmasking religious illusion and pious fraud in the context of providential blessing (Ecclesiastes); and becoming a celebrative community of faith in the environment of the world’s hostility (Esther). (p. 17)

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Spiritual diagnostic questions
















Apa mimpi terburuk saya? Apa yang paling saya khawatirkan?
What is my greatest nightmare? What do I worry about most?

Jika saya gagal atau kehilangan sesuatu, apa yang membuat saya merasa tak ingin hidup lagi? Apa yang membuat saya melanjutkan hidup?
What, if I failed or lost it, would cause me to feel that I did not even want to live? What keeps me going?

Apa yang saya andalkan, yang menghibur saya ketika hal-hal buruk atau sulit terjadi?
What do I rely on or comfort myself with when things go bad or get difficult?

Apa yang paling mudah saya pikirkan? Ke manakah perginya pikiran saya ketika saya seorang diri, santai, tak bekerja? Apa yang memenuhi pikiran saya?
What do I think most easily about? What does my mind go to when I am free? What preoccupies me?

Jika doa saya tak terkabul, apa yang membuat saya dengan serius berpikir untuk berpaling dari Allah?
What unanswered prayer would make me seriously think about turning away from God?

Apa yang membuat saya merasa amat bernilai atau berharga? Apa yang paling saya banggakan?
What makes me feel the most self-worth? What am I the proudest of?

Apa yang sungguh-sungguh saya inginkan dan harapkan dari kehidupan? Apa yang benar-benar membuat saya bahagia?
What do I really want and expect out of life? What would really make me happy?

Versi yang lebih extensive bisa diunduh di sini

Monday, July 26, 2010

Find us faithful

Salah satu karya Steve Green yang sangat menguatkan iman. Semoga dapat memberkati anda.



We're pilgrims on the journey
Of the narrow road
And those who've gone before us line the way
Cheering on the faithful, encouraging the weary
Their lives a stirring testament to God's sustaining grace

Surrounded by so great a cloud of witnesses
Let us run the race not only for the prize
But as those who've gone before us
Let us leave to those behind us
The heritage of faithfulness passed on through godly lives

Chorus:
Oh may all who come behind us find us faithful
May the fire of our devotion light their way
May the footprints that we leave
Lead them to believe
And the lives we live inspire them to obey
Oh may all who come behind us find us faithful

After all our hopes and dreams have come and gone
And our children sift though all we've left behind
May the clues that they discover and the memories they uncover
Become the light that leads them to the road we each must find (repeat chorus)

Favoritisme

Without the solitude of heart, our relationships with others easily become needy and greedy, sticky and clinging, dependent and sentimental, exploitative and parasitic, because without the solitude of heart we cannot experience the others as different from ourselves but only as people who can be used for the fulfillment of our own, often hidden, needs.

[Favoritisme. Kalau orangtua punya anak favorit, guru punya murid favorit, gembala juga punya domba favorit. Tapi apa sebenarnya yang membuat kita mem-favorit-kan orang-orang tertentu? Karena mereka lebih 'subur' daripada yang lain? Lebih indah? Suka memberi atau memuji? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita memerlukan the solitude of heart. Kita tak bisa meresponinya ketika kita tengah sibuk melayani. Oleh karena itu, kita perlu menyendiri, bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara batiniah. Apa yang kita cari dan inginkan dari orang-orang yang kita layani? Nouwen benar, tanpa hati solitude, kita tak bisa mengalami orang lain sebagai yang lain, yang berbeda dari diri kita, tetapi hanya sebagai orang yang bisa kita pakai demi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kita yang seringkali tak nampak.]

Henri J. Nouwen, Reaching out: the three movements of the spiritual life (Garden City, NY: Doubleday & Company, Inc., 1975), p. 30.

Thursday, July 22, 2010

Simplifikasi

Melanjutkan diskusi buku Song of Songs (Kidung Agung), EP berpendapat bahwa kemesraan atau intimasi bukan hal yang mudah dicapai. Namun demikian, pendeta tak dipanggil to ease atau mempermudah pencapaiannya.

It is not the pastor's job to simplify the spiritual life, to devise common-denominator formulas, to smooth out the path of discipleship. Some difficulties are inherent in the way of spiritual growth - to deny them, to minimize them, or to offer shortcuts is to divert the person from true growth. It is the pastor's task, rather, to be companion to persons who are in the midst of difficulty, to acknowledge the difficulty and thereby give it significance, and to converse and pray with them through the time so that the loneliness is lightened, somewhat, and hope is maintained, somehow. (p. 51)

[Khotbah-khotbah dan kesaksian-kesaksian Kristen yang sering kita dengar atau baca, sayangnya, seringkali menyederhanakan pergumulan Kristen. Mereka disampaikan dengan tak jujur serta cenderung bombastis. Orang-orang Kristen suka mendengar atau membacanya karena bagian tersulit dari kesulitan-kesulitan dalam hidup ini telah dihapus, atau paling tidak, diturunkan kadarnya. Baiklah pendeta peka dalam hal ini.]

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Wednesday, July 21, 2010

Kiss me!

Saya sangat menyukai tulisan-tulisan Eugene Peterson (EP). Isu-isu sederhana bisa diulasnya dengan kata-kata yang kaya dan dinamis. Di blog ini, kalau sempat, saya akan post secara berkala quotes dari buku-bukunya dengan disertai sedikit comments.

Salah satunya ini, ia membahas bagaimana buku Song of Songs atau Kidung Agung relevan dengan pastoral work.

… the first word in the Song (in Hebrew) is "Kiss me!" (yissaqeni) - a direct, and passionate, appeal for intimacy. This person does not want to talk about theology, does not want to gossip about love, does not want to get on a committee to do something for God. There is no time for cultural "platonic" conversation, no use for that which in the theological world goes under the label of "apologetics." The lonely isolation of the solitary person must be invaded. Life, to be meaningful, must be joined: intimacy is a requirement of wholeness.

[Ketika seorang kekasih berkata, "Kiss me!," kita tahu, yang ia minta dari kita tak lain dari sebuah respon yang relevan, yakni sebuah action yang menyambut ajakan mewujudkan cinta.]

Pastoral work is familiar with the demand, if not so familiar with its bold expression (for not so many know what they need so clearly, or are so bold to express it directly). All those who have heard the word of salvation and have responded to it in faith are on the way to realizing its implications in their daily lives. The desire is expressed either openly or circuitously. It may or may not be expressed to the pastor, but it is always expressed somehow or other in the community in which the pastor works. We are trained to have ears to hear the inarticulate "Kiss me!" that is hidden under all kinds of other demands and requests. (p. 45-46)

[Jika saya terjemahkan secara bebas, kira-kira seperti ini: Apakah kita cukup terlatih untuk mendengar kata mesra "Kiss me! yang tak terucap itu, yang tersembunyi di balik tuntutan-tuntutan dan pemintaan-permintaan mereka yang kita layani? Tuntutan dan permintaan dimaksud bisa dikemas dalam bentuk permintaan memperoleh visitasi, counselling, penjelasan khotbah lebih lanjut, bahkan penyampaian kritik dan protes.]

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Monday, July 19, 2010

Sebuah perjalanan panjang satu arah

Kalau nanti saya sempat menjadi tua, akankah saya tetap setia seperti Pdt. Charles Simeon? Semangat juang yang tak padam oleh waktu.

Tahun 1836, Pdt. Charles Simeon pensiun setelah 54 tahun melayani di Gereja Holy Trinity, Cambridge, UK. Di sana, selama bertahun-tahun ia menyampaikan khotbah expository, dan melalui khotbah-khotbahnya beberapa generasi pemimpin-pemimpin muda Kristen terpanggil untuk bersaksi dan berkiprah dalam masyarakat British. Kesuksesan pelayanannya sungguh gemilang, boleh dibilang melampaui siapapun. Namun seorang temannya menemukan bahwa orang tua ini ternyata masih bangun pukul 4 subuh setiap hari untuk membaca Alkitab, berdoa, bertobat, dan bersekutu dengan Allah. Temannya berpikir bahwa ini sudah berlebihan; ia menyiksa diri sendiri. ”Pak Simeon,” ia membujuk, “Apakah kamu tidak berpikir bahwa sekarang kamu sudah pensiun, seharusnya kamu hidup lebih santai?” “Apa?!,” jawab Pdt. Charles, ”Bukankah seharusnya saya berlari dengan segenap kekuatan saya ketika garis akhir sudah di depan mata?”

Membaca cerita mengenai Pdt. Charles ini mengingatkan saya akan buku Eugene Peterson yang berjudul A Long Obedience in the Same Direction. Saya kira itulah esensi dari menjadi murid Kristus.

Dunant dan salib merah

Tadi sore rumah sewa kami didatangi 2 pemuda gagah (satunya orang Korea, mukanya macam bintang film terkenal) dengan salib merah tersemat di dada. Mereka ramah dan persuasif. You know, ujung-ujungnya minta sumbangan juga. Saya kirain mau nawarin main film bareng, hehee. Iya, mereka dari Canadian Red Cross. Kalau di Indonesia disebut sebagai Palang Merah Indonesia (PMI). Sebenarnya, sudah lama saya tertarik ingin tahu lebih jauh mengenai organisasi sosial ini. Dengan kunjungan mendadak 2 pemuda tadi, saya termotivasi untuk mempelajari Red Cross via google. Salah satu artikel yang saya temui, bisa anda baca di bawah, ditulis secara singkat oleh David Neff. Bacalah! Henri Dunant patut dijadikan model bagi Christian humanitarian. Ia seorang Calvinist. Kalau banyak orang evangelical hari ini melulu curiga terhadap karya sosial membantu orang-orang miskin, seakan setiap perjuangan membela mereka berarti mempraktikkan social gospel, asal tahu saja bahwa bapak kaum Evangelical, John Calvin sendiri yang mewariskan spirit charity kepada dunia. Menurut saya, justru aneh mendaku calvinist tetapi sinis terhadap perjuangan sosial.

Dunant bukan seorang jenius dengan title PhD dari dunia akademik. Ia bahkan tidak lulus university. Sempat dalam perjalanan karirnya, ia mengalami kebangkrutan dan dituduh sebagai penyebab. Hancurlah nama baiknya seketika itu. Tapi Tuhan baik, dengan bantuan seorang jurnalis, namanya kembali diangkat, dan akhirnya ia dianugerahi Nobel Peace Prize. Ia termasuk orang pertama di muka bumi yang meraih anugerah prestisius tersebut.

Ok, saya tak ingin berpanjang-panjang lagi. Satu hal yang saya sayangkan, sebagaimana juga telah diungkapkan dalam artikel Neff, Red Cross nampaknya telah lepas dari sejarahnya sendiri. Dunant disebut-sebut tanpa visi kristen yang telah mempengaruhinya. Maka, saya tidak heran, 2 pemuda tadi juga datang tak ubahnya salesmen. Yang penting bisa dapatkan nomor check atau credit card orang, sudah itu pergi dan lupa.

Compassionate in War, Christian in Vision
The man behind the Geneva Conventions knew the heights of success and the depths of failure.

David Neff

Friday, August 8, 2008
This year I read the Geneva Conventions for the very first time. The photos from Abu Ghraib prison made me want to read the classic international agreements about the treatment of prisoners in time of war, and I needed to write an editorial for Christianity Today about the implications of the abuses there.

Reading those documents—as well as the other conventions about the treatment of the wounded, those shipwrecked at sea, and civilians under enemy control—I had a profound sense that a Christian vision undergirded these texts.

Unfortunately, when I went to the website of the International Committee of the Red Cross, I found just the barest hint that the man behind the ICRC and the first Geneva Conventions might have been motivated by a Christian vision. The ICRC web page devoted to founding visionary Henry Dunant (1828-1910) says only that he "came from a very devout Calvinist family that practised charity."

Further research on the Internet and a summer vacation visit to ICRC headquarters in Geneva expanded my understanding of Dunant's Christian vision. Here's what I found: According to Pam Brown's Henry Dunant, the only English-language biography of Dunant I found at the ICRC bookstore, Henri Dunant's parents left the "official church" and joined the "Church of the Awakening, a group which insisted on active charity." I have found no other mentions of an organization by this name in Switzerland in the 1830's and '40s, though I have found plenty of references to an evangelical awakening inside and later outside the Reformed church in Switzerland.

The Swiss website of the Henry Dunant Society reports that Dunant, who failed miserably in his studies at Geneva's Collège Calvin, had nevertheless won the piety prize in school and was an avid listener to the sermons of evangelical preacher Louis Gaussen at the Oratory. Gaussen had been suspended for his revival activities by Geneva's Venerable Company of Pastors and subsequently took part in the formation of the Société; Evangélique, the Free Faculty of the Oratory, and the Evangelical Church of the Oratory (Free). Under Gaussen's preaching, says the Dunant Society website, young Henri "literally nourished himself on the 'Awakening' of the Protestant church." (Beware of machine translations on French websites about spiritual renewal, since the French word for "awakening" also means "alarm clock" which can produce amusing—and alarming—translations.)

Organization man

As a young man, Henri Dunant participated in the kind of free-wheeling association that seems to be typical of evangelical religion everywhere. In about 1848, at age 20, he organized a group of like-minded young men known first as the Thursday Meeting, and soon after as the Union of Geneva. Their aim was to be "more effective in Christian charity," "to heat up the lukewarm" believers, and to "convert those who had not met God" (Société; Henry Dunant).

In the years that followed, the young Dunant showed tremendous organizational ability, and soon built bridges between his group in Geneva and likeminded groups elsewhere—including the Young Men's Christian Association, which had been founded in London in 1844 by George Williams. Dunant suggested that these groups should cooperate internationally, and as a result representatives met in Paris in August 1855 and formed the World Alliance of YMCAs.

Dunant's vision is captured in these quotations from a YMCA website: "Leading up to the World Conference, Henry Dunant … reflected in 1852 on the international and ecumenical dimensions of the YMCA, considering the imperative of 'one body, many members': ' … Be persuaded that we are members for each other, with solidarity for each other; we are only one and the same family, destined to glorify Jesus … ' In the same line, in 1855, he lay the foundation of what was to be the World Alliance of YMCAs: 'Let each therefore bring his stone towards the building of the edifice; be it ever so small, it must help towards the construction of the mansion.'"

Dunant may have been forced to drop out of school for poor performance, but he was a genius at vision and organization. That talent showed up a few years later when he chanced on a battlefield in northern Italy.

Bloody battle

The date was June 24, 1859. Dunant was on his way to see the French emperor, Napoleon III. Several years earlier, Dunant had been sent to Algeria to supervise some business interests there, but being the devout evangelical he was, he saw it as an opportunity to create economic opportunity for poor Algerians and to spread the gospel as well. His main problem on the business front was that he was Swiss, and Algeria was a colony of France. Local officials made it difficult for him to obtain the permits he needed, and so he decided to go straight to the Emperor to ask for concessions.

A tragic thing happened on the way to his imperial appointment: the bloody battle of Solferino. The Italians and the French were trying to drive Austrian forces out of occupied Italian lands. By the morning of June 25, wounded soldiers lay everywhere. An estimated 40,000 soldiers were killed or wounded that day.

On a European battlefield in the 19th-century, a wound was almost a death sentence. The armies had not yet developed efficient ways to transfer wounded soldiers to medical facilities at the rear of the operations. The warring parties considered physicians and nurses as combatants, and those who tried to bandage and care for the wounded were considered fair targets. No one would help a wounded enemy, since a bloodied soldier lying on a battlefield could be playing a trick and would just as likely stab you or shoot you if you tried to help. The result was that people bled to death, died of dehydration, or succumbed to aggressive infections that set in before medical personnel could attend to their wounds.

The horrible scene was more than Dunant could handle. Almost anyone else would have run away in horror, but this visionary genius saw the opportunity to use his organizational skills to maximize the effectiveness of limited resources. He soon had neighboring townspeople organized, had the wounded moved into homes, chapels, and even a castle, and begged material support from local nobles. Most remarkably, he persuaded people to care equally for the wounded enemy. Tutti fratelli, All are brothers, he kept telling the local volunteers. It was a concrete demonstration of a Christian vision.

The book of sorrows

After the battle, Dunant wrote a little book, A Memory of Solferino. This book publicized the horrors of war in the way that Uncle Tom's Cabin created a public awareness of the horrors of slavery. Neither war nor slavery was hidden from public view, but a writer with a conscience can make readers confront a reality they would otherwise turn away from. (The ICRC makes the full text of A Memory of Solferino available on its website.)

The reaction to A Memory of Solferino brought swift results. The first edition of the book was published in November 1862. By February 1863, enough movers and shakers had indicated an interest in concrete action that a Committee of Five convened to lay plans for action. By October of 1863, Dunant had gathered in Geneva thirty-one delegates representing sixteen nations to discuss his vision. The core of Dunant's idea was neutrality. If medical personnel on the battlefield could be considered neutral parties by both sides, the wounded could be treated and many lives saved. It was a controversial idea, but Dunant won the day.

Clearly, there would have to be a way to identify these neutral parties, and Dr. Louis Appia, another member of the Committee of Five, suggested a symbol: a red cross on a white background (the reverse of the Swiss flag). The symbol could be painted on ambulances, and on the battlefield, medical workers could wear it on an armband.

The 1863 conference was a success, but broader support and a more formal agreement was needed, and so a Diplomatic Conference was planned for the summer of 1864.

1863 had also been the year of Abraham Lincoln's Emancipation Proclamation, and Dunant was excited by Lincoln's bold stroke. To the dismay of his European colleagues, Dunant invited—nay, pressured—the American president to send delegates to the conference. Hogtied by political concerns, Lincoln could only send observers.

Geneva

As a result of the August 1864 conference, twelve nations signed the ten articles that formed the first Geneva Convention. According to biographer Pam Brown's summary, this document "guaranteed neutrality for ambulances, hospitals and medical workers and their equipment; for local inhabitants who were helping the wounded; for wounded enemy soldiers and it also required their captors to treat their wounds or to arrange for this to be done. It spelled out the obligation of armies to search for and collect the wounded. Finally, it established the red cross on a white background as an international symbol of protection and neutral assistance in times of war." By the end of 1867, twenty-one nations had signed the Convention.

Disgrace and honor

This success was the high point of Dunant's life, which quickly fell apart. Perhaps his humanitarian crusades drew his attention away from business interests. But for whatever reason, his business went bankrupt, and the Court of Civil Law blamed him for the disaster. Brown writes: "He was held to have deceived his colleagues and this verdict was published in the Geneva newspapers. … At the age of thirty-nine, just eight years after Solferino, Dunant had lost everything. He had lost his standing as a citizen of Geneva, he was a bankrupt, branded as the cause of the disaster publicly, and, worst of all, he lost his position in the Red Cross in Geneva."

Bankruptcy was a major disgrace in Geneva at this time, and though he vowed to work hard to repay all his debts, many of his friends never forgave him. Writes Brown, "Humiliated, Dunant left Geneva forever."

Dunant moved to Paris and continued to be active in humanitarian causes. Unfortunately, none of his business enterprises succeeded, and he was eventually reduced to utter poverty. He wandered, shuttling back and forth between Paris and Trieste, London, Stuttgart, Corfu, the Isle of Wight, and several German cities. Finally, in July of 1887, he returned to Switzerland "sick, shabby, and old" and settled in the mountain village of Heiden. From this rural location, he wrote letters to old acquaintances and tried to reestablish himself, but he met with little success. Perhaps the world would never again have heard of Henry Dunant, if it hadn't been for a journalist who was hiking in the mountains nearby. In casual conversation he heard about an old man living in a hospital in Heiden who claimed to be the founder of the Red Cross. The journalist had a nose for a good story, and he made an appointment to interview Dunant. The resulting publicity brought a wave of new attention, and honor and recognition were once more bestowed on this Christian visionary. Perhaps the chief honor came in 1901: the very first Nobel Peace Prize, which he shared with Frederic Passy, the founder of the first French peace organization.

The honor of receiving the Nobel helped to heal Dunant's feelings of deep humiliation, though he spent none of the considerable prize money. Instead, he left bequests to the people who had cared for him in Heiden, money to fund a free hospital room for the poor of Heiden, and sums to various charities in Norway and Switzerland. Dunant acted the Christian humanitarian to the last.

Copyright © 2004 Christianity Today.

Menunaikan tugas panggilan

Tulisan singkat ini saya buat setelah menyaksikan foto-foto kebaktian funeral Christina Mandang di STTJ.

Minggu lalu dalam khotbah saya menceritakan sepotong kehidupan Henry Martin (1781-1812), seorang misionari yang melayani di India bekerja sama dengan William Carey. Henry, seperti kita, pernah mengalami pergumulan yang berat dalam pelayanan. Ia pernah merasa begitu enggan dan susah hati untuk pergi bagi Tuhan. Tubuh yang sakit-sakitan hanya menambah berat beban bagi langkah-langkahnya. Di atas semua itu, ia juga pernah merasa patah hati.

Pacarnya, Linda, yang dinanti-nanti, tidak jua membalas surat sampai 15 bulan. Giliran membalas, isinya adalah sebuah penolakkan. Dengan fasilitas postal yang minimal ala ’jadoel’ (jaman doeloe), mereka berjuang memelihara cinta jarak jauh, Inggris-India, agar tetap menyala. 5 tahun lamanya mereka berharap suatu hari keadaan dapat berubah. Namun keadaan tak berubah, dan surat terakhir yang ia tulis buat Linda, yang tertinggal bagi kita, ditulisnya 2 bulan sebelum ia meninggal. Henry tak sempat lagi melihat pacarnya di bumi. Akan tetapi, kematian nampaknya bukan apa yang paling ia takuti. Menemui pacarnya juga bukan apa yang paling ia inginkan dalam hidup.

Kerinduannya yang terdalam ialah memperoleh Kristus, karena baginya, memperoleh Kristus merupakan nilai yang tak dapat ditandingi dengan apapun di dunia (baca Filipi 3:7-11).

Bagian akhir dari isi suratnya benar-benar menggugah dan mengiang terus dalam benak saya sampai saat ini.

“Whether life or death be mine, may Christ be magnified in me! If he has work for me to do, I cannot die.” // Baik hidup maupun mati, kiranya Kristus diagungkan dalamku! Jika Ia masih mempunyai pekerjaan untuk kutunaikan, aku takkan mati.

Dengan kata lain, jika aku masih hidup berarti Tuhan masih mempunyai pekerjaan untuk kutunaikan. Tugas Henry Martin sudah tunai, meski ia baru 31 tahun. Pekerjaan Christina Mandang baru selesai beberapa minggu lalu, di usianya yang ke-38. Kita yang masih bernafas dan bertenaga, apakah kita masih mengerjakan tugas panggilan kita dengan setia?

Menemukan ketenangan


Tulisan ini saya peroleh dari blog women’s ministry di Calvary Church. Penulis mengingatkan saya bagaimana di tengah dunia kerja yang mendesak kita untuk menjadi go-getters, kita masih bisa menemukan ketenangan dan rasa aman hanya dalam Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Mazmur 62:5. Bagaimana ‘finding rest’ kita lihat sebagai sebuah ‘achievement’? Selamat membaca!

Wednesday, July 14, 2010
Becoming Dependent on God: Finding Identity apart from Work
Karen DeVries

“Find rest, O my soul, in God alone.” (Psalm 62:5)

“I teach Kindergarten, but I used to work for General Electric” is the answer I learned to give to the “What do you do?” question. Being connected to a corporation seemed more intriguing than being a teacher. My GE experience allowed me to tell impressive travel stories and reveal my worldly experience. A few years later I had to resign from my teaching job due to family illnesses. But I still clung to my work-related identity. When asked, “What do you do?” I would answer, “I used to be a Kindergarten teacher.” I still believed people were looking for the job answer.

I was raised to be a working girl with hopes of great achievement. I worked hard to earn high grades so I could get into a good college, get a good job, get promoted, get a house, get a godly husband, go to a good church, raise gifted children, connect with successful people. Go, go, get, get.

The words “Find rest, O my soul, in God alone” (Psalm 62:5) did not make sense to me until I was absolutely exhausted. I didn't think of “finding rest” as an achievement.

When I had to quit my job, I felt obligated to invest my time in other worthy projects. After years of pursuing one goal and then another, that was the only life I knew. I compared myself to other women and reasoned that it was best to stay busy and keep reaching for goals. That’s what everyone else did. Don't change behavior, just change treadmills.

We fail to realize how intertwined our identity is with our job, our tasks, or what we do for loved ones.

Leaving or losing a job, or facing any situation that involves loss, brings with it the compelling question: “What do I do now?”

There is no answer because God is more interested in who we are than in what we do.

Ultimately, we are daughters of the Creator of the universe. We forget this when we accept that our identity is defined by the tasks we do. We have a Perfect Father who loves us because we are His children. He's not impressed with our busyness or our societal success. He delights in our being.

So who am I without the identity of my job?

For me, finding my true identity means redefining success. Success is not receiving accolades from others for how much I accomplish. Success is finding the specific path that God intends for me and being satisfied with accomplishments that are not visible or measurable. My journey is unique. It is for God to determine, and for me to follow, without comparing myself to others, as Galatians 6:4–5 instructs us.

I still tend to dodge the “What do you do?” question by sharing an interesting story. But I am becoming more comfortable with quietness and stillness. I am seeking to obey God in “being” over “doing.”

Do you find your identity in a job, a relationship, or a set of tasks? Do you measure your value by comparing yourself to others? If so, how does this keep you from becoming the person God designed you to be?

How do you answer the “What do you do?” question? How might you answer it in a way that describes who you are becoming?

We'd love to hear your story.

A conversation with Eugene Peterson

Eugene Peterson melayani sebagai pendeta Christ Our King, Bel Air, Maryland, selama 29 tahun. Sayang, tidak banyak video Eugene yang bisa diakses di youtube. Ini salah satunya.

Jangan sia-siakan kanker anda


Diterjemahkan dari http://www.desiringgod.org/ResourceLibrary/TasteAndSee/ByDate/2006/1776_Dont_Waste_Your_Cancer/

Tulisan John Piper ini originally didampingi oleh tulisan atau komentar David Powlison. Saya tidak menerjemahkan bagian Powlison, hanya Piper. Selamat membaca!

Jangan Sia-siakan Kanker Anda oleh John Piper

[John Piper didiagnosa mendapat kanker prostat pada 11 Januari 2006. Ia menjalani operasi dengan sukses pada 14 Februari 2006.]

Saya menulis ini menjelang operasi prostat. Saya percaya pada kuasa Allah untuk menyembuhkan - baik dengan mukjizat maupun dengan pengobatan. Saya percaya mendoakan untuk kedua macam penyembuhan itu benar dan baik. Kanker tidak disia-siakan ketika ia disembuhkan oleh Allah. Ia memperoleh kemuliaan dan itulah sebab mengapa kanker ada. Jadi tidak berdoa untuk kesembuhan bisa menyia-nyikan kanker anda. Akan tetapi kesembuhan bukan rencana Allah bagi setiap orang. Dan ada banyak cara lain untuk menyia-nyiakan kanker. Saya berdoa untuk diri saya sendiri juga bagi anda agar kita tidak menyia-nyiakan penderitaan ini.

Anda akan menyia-nyiakan kanker anda, jika …

1. Anda tidak percaya bahwa itu adalah rancangan Allah bagi anda.
Tidaklah cukup mengatakan bahwa Allah hanya memakai kanker kita tetapi tidak merancangnya. Apapun yang Allah izinkan, Ia izinkan dengan suatu alasan. Dan alasan itu adalah rancangannya. Jika Allah mengetahui bahwa perkembangan molekuler akan menjadi kanker, ia bisa menghentikannya atau tidak. Jika ia tidak menghentikannya, Ia pasti mempunyai maksud tertentu. Oleh karena Ia bijaksana tanpa batas, kita dapat menyebut maksud ini sebuah rancangan. Setan itu riil, nyata, dan menyebabkan banyak kesenangan dan penderitaan pula. Kendati begitu, ia bukanlah yang tertinggi. Maka, ketika ia menyerang Ayub dengan barah yang busuk (Ayub 2:7), Ayub menganggapnya sebagai penderitaan yang berasal dari Allah dan penulis kitab ini menyetujui, “Mereka … menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan Tuhan kepadanya” (Ayub 42:11). Jika kita tidak percaya bahwa kanker kita dirancang oleh Allah bagi kita, maka kita akan menyia-nyiakannya.

2. Anda percaya itu kutukan dan bukan kasih karunia.
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1). “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Galatia 3:13). “Tidak ada mantera yang mempan terhadap Yakub, ataupun tenungan yang mempan terhadap Israel” (Bilangan 23:23). “Tuhan Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

3. Anda mencari penghiburan dari perkiraan-perkiraan anda ketimbang dari Allah.
Rancangan Allah dengan kanker kita tidak untuk melatih kita membuat perhitungan rasionalistik mengenai apa yang mungkin terjadi. Dunia memperoleh penghiburan dari perkiraan-perkiraan mereka sendiri. Tidak begitu dengan Kristen. Sebagian menghitung jumlah kereta perang mereka (berapa persen bisa bertahan hidup) dan sebagian lain menghitung jumlah kuda mereka (efek samping dari pengobatan), namun kita percaya dalam nama Tuhan, Allah kita (Mazmur 20:7). Rancangan Allah jelas dari 2 Korintus 1:9, “Kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, melainkan hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.” Tujuan Allah dengan kanker kita (di antara ribuan hal-hal baik lainnya) adalah untuk menyingkirkan hal-hal yang selama ini menopang hati kita agar kita bisa bergantung sepenuhnya pada-Nya.

4. Anda menolak untuk berpikir tentang kematian.
Kita semua akan mati, jika Yesus menunda kedatangan-Nya kembali. Tidak mau berpikir tentang apa yang akan terjadi kelak ketika kita meninggalkan hidup ini dan berjumpa dengan Allah adalah kebodohan. Pengkhotbah 7:2 berkata, “Pergi ke rumah duka lebih baik daripada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Bagaimana kita dapat memperhatikannya jika kita tidak bersedia memikirkannya? Mazmur 90:12 berkata, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Menghitung hari-hari berarti memikirkan tentang betapa sedikit hari-hari itu dan bahwa mereka akan berakhir. Bagaimana kita bisa memperoleh hati yang bijaksana jika kita menolak memikirkan hal itu? Sungguh sia-sia, jika kita tidak berpikir mengenai kematian.

5. Anda berpikir bahwa “mengalahkan” kanker berarti bertahan hidup dan bukan mencintai Kristus.
Rancangan-rancangan Allah dan setan dengan kanker kita tidaklah sama. Setan merancang untuk menghancurkan kasih kita bagi Kristus. Allah merancang untuk memperdalam kasih kita bagi Kristus. Kanker tidak menang jika kita mati. Ia menang jika kita gagal mencintai Kristus. Rancangan Allah adalah agar kita berhenti menyusu pada dunia dan berpesta dalam kecukupan Kristus. Rancangannya dimaksud untuk membantu kita dapat merasa dan berkata, “segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya.” Dan untuk mengetahui bahwa oleh karena itu, “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 3:8; 1:21).

6. Anda menggunakan waktu terlalu banyak untuk membaca mengenai kanker dan tidak cukup waktu untuk membaca mengenai Allah.
Tidak salah untuk mengetahui tentang kanker. Ketidaktahuan jelas bukan kebajikan. Kendati begitu, ketertarikan untuk mengetahui lebih banyak dan kekurangan gairah untuk mengenal Allah lebih dalam adalah gejala ketidakpercayaan. Kanker dimaksud untuk mengingatkan kita akan realitas Allah. Kanker dimaksud untuk menumbuhkan minat dan perjuangan yang terdapat dalam ajakan, “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan” (Hosea 6:3). Kanker dimaksud untuk mengingatkan kita akan kebenaran Daniel 11:32, “Umat yang mengenal Allahnya akan tetap kuat dan akan bertindak.” Kanker dimaksud untuk menjadikan kita seperti pohon beringin yang kokoh dan takkan goyah, “Yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mazmur 1:2-3). Alangkah sia-sia kanker kita jika kita membaca tentang kanker siang dan malam dan bukan tentang Allah.

7. Anda tenggelam dalam kesendirian alih-alih memperdalam hubungan anda dengan afeksi yang jelas.
Ketika Epafroditus membawa oleh-oleh dari gereja Filipi kepada Paulus ia menjadi sakit dan hampir mati. Paulus memberitahu jemaat Filipi, “Ia sangat rindu kepada kamu sekalian dan susah juga hatinya, sebab kamu mendengar bahwa ia sakit” (Filipi 2:26). Sungguh suatu respon yang luar biasa! Tidak dikatakan mereka tertekan karena ia sakit, tapi bahwa ia tertekan karena mereka mendengar ia sakit. Itulah macam hati yang Allah harapkan dapat tercipta dengan kanker: sebuah hati yang amat peduli dan penuh kasih sayang bagi orang lain. Jangan sia-siakan kanker kita dengan menarik diri dari orang lain.

8. Anda berdukacita seperti mereka yang tidak berpengharapan.
Paulus menggunakan kata-kata ini dalam kaitannya dengan mereka yang kehilangan orang-orang tercinta: “Kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” (1 Tesalonika 4:13). Ada dukacita atas kematian. Bahkan pada orang percaya yang mati, ada kehilangan yang temporer - kehilangan tubuh, kehilangan orang yang dikasihi, dan kehilangan pelayanan di bumi. Namun kedukaan tersebut berbeda - ia dipenuhi dengan harapan. “Terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan” (2 Korintus 5:8). Jangan sia-siakan kanker kita dengan berdukacita seperti mereka yang tidak memiliki harapan ini.

9. Anda memperlakukan dosa tanpa keseriusan seperti sebelumnya.
Apakah kita masih tertarik pada dosa-dosa seperti sebelum kita mengalami kanker? Jika demikian, kita menyia-nyiakan kanker kita. Kanker dirancang untuk menghancurkan selera untuk berbuat dosa. Keangkuhan, keserakahan, nafsu birahi, kebencian, dendam, ketidaksabaran, kemalasan, kegemaran menunda – semua ini adalah musuh yang hendak dilawan oleh kanker. Jangan hanya berpikir untuk berperang melawan kanker. Berpikir juga untuk berperang bersama kanker. Semua yang telah disebutkan di atas adalah musuh yang lebih jahat daripada kanker. Jangan sia-siakan kekuatan kanker untuk mengalahkan musuh-musuh ini. Biarlah kehadiran kekekalan membuat dosa-dosa yang dilakukan dalam waktu nampak tak berarti. “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Lukas 9:25).

10. Anda gagal memakainya sebagai sarana untuk bersaksi tentang kebenaran dan kemuliaan Kristus.
Orang-orang Kristen tak pernah berada di suatu tempat oleh karena kebetulan belaka. Ada alasan-alasan mengapa kita bisa berada dalam situasi dan kondisi tertentu. Pertimbangkan apa yang Yesus katakan mengenai keadaan yang menyakitkan dan tak direncanakan ini: “Kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi” (Lukas 21:12-13). Begitu pula dengan kanker. Ini akan menjadi kesempatan untuk bersaksi. Kristus layak tiada taranya. Inilah kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa ia layak lebih daripada kehidupan. Jangan sia-siakan!

Meja perjamuan atau mezbah?

Kemarin pagi saya berkesempatan untuk memimpin perjamuan kudus. Maklumlah ini pertama kali bagi saya semenjak ditahbiskan, jadi masih rada kaku. Tapi saya bersyukur semua dapat berjalan dengan lancar dan cukup khusyuk.

Saya teringat kira-kira satu minggu sebelumnya saya dan para pengurus sudah mulai mendiskusikan apa saja yang perlu dipersiapkan. Lalu kami tiba pada sebuah pertanyaan teknis tapi lumayan serius: pakai meja apa? Berhubung ruang di kebaktian pagi tidak begitu besar, kita enggak bisa sembarang mengambil meja. Kalau kepanjangan, bikin sesak. Kalau kekecilan, enggak muat.

Akhirnya, pagi-pagi sebuah meja berukuran medium sudah nongkrong di sisi mimbar. “Oh, ini pas,” batin saya. Meja itu lalu dibungkus dengan taplak berwarna putih polos. Petugas kebaktian perlahan mengusung masuk piring roti dan cawan air anggur, diletakkannya mereka di atas meja dengan penataan yang anggun.

Saya termenung. Bagaimana seharusnya kita memandang meja perjamuan Tuhan? Apakah ini sebuah meja perjamuan atau sebuah mezbah? Apa perbedaannya?

Meja perjamuan lebih terjangkau, mudah dipahami buat kita. Di meja perjamuan ada makanan dan minuman serta percakapan yang santun. Kita dapati sendok, garpu, atau pisau saling beradu sehingga menimbulkan dentingan yang hanya menambah semarak suasana perjamuan. Tuhan dapat dibayangkan tengah duduk di antara kita, begitu dekat, intim penuh penerimaan. Tak pelak lagi, kita lebih suka ide atau gambaran ini.

Tapi mezbah? Mezbah adalah tempat pengurbanan. Kita tak begitu familiar dengannya. Di sanalah seorang imam menyayat leher seekor domba atau sapi yang innocent. Ada suara jeritan kesakitan. Ada darah segar yang muncrat membasahi mezbah. Tema pembicaraan di seputar mezbah adalah dosa dan kematian. Tuhan mahasuci tak dapat berkompromi dengan dosa; Ia murka sekaligus berduka.

Pada Perjamuan Kudus, apakah kita menghampiri meja perjamuan atau mezbah? Jawabnya ialah kedua-duanya.

Meja perjamuan takkan tergelar tanpa mezbah. Kita tak boleh menerima yang satu tetapi menampik yang lain. Dosa dan kematian itu riil. Mereka tak boleh dibiarkan tak tersentuh. Mereka mesti dihadapi. Ya, di mezbah. Di salib. Karena justru dengan kematian Tuhan yang menggantikan, kita dapat menikmati persekutuan di meja perjamuan, bahkan the heavenly banquet di hari mendatang.

Pendeta William Willimon dalam Sunday Dinner kurang lebih menulis begini, “Kekristenan memberi penghiburan yang besar. Kendati begitu, ia tak dimulai dengan penghiburan; sebaliknya, ia diawali dengan kerelaan menanggung nyeri. Kita tak bisa meminta penghiburan sebelum kita berhadap-hadapan dengan salib. Salib mengingatkan kita bahwa Tuhan menang bukan melalui paksaan atau tangan besi, melainkan melalui pengurbanan diri.” Begitu juga semestinya dengan kita.

Giliran jaga

Ini tentang Mark lagi, putra saya yang berusia 21 bulan itu. Setiap kali saya mendapat giliran menjaga dia, ada saja ulahnya yang bikin gregetan. Awalnya ia bersahabat, mau duduk di pangkuan saya sembari menyeruput susu dalam botol. Tapi itu tak bertahan lama. Kira-kira 15-20 menit kemudian, ia sudah minta turun. Setelah diturunkan ia mulai menarik-narik tangan saya, menepak, mengguncang kursi, untuk mengajak saya bermain. “Papa, papa, papa, papa…” ia memanggil terus dengan volume suara yang makin lama makin keras. Kalau sedang banyak pekerjaan, terus terang saya malas meladeni. Saya memilih untuk membaca buku, browsing internet, membalas e-mail, mendengarkan kotbah, dan lain-lain. Tapi Mark bukan seorang anak yang mudah menyerah. Ia selalu punya cara untuk membuat saya berespon kepadanya. Pernah suatu kali, ia sedang bermain sendirian, dan saya tengah asyik bekerja. Saya kira ia akan baik-baik saja. Tapi sontak air susu berceceran di lantai. Bagaimana bisa terjadi? Enggak tahunya air susu yang disedotnya alih-alih ditelan, malah disembur dari mulut. Ceceran air susu itu selanjutnya disapu dengan tangan sehingga menyebar ke mana-mana. Maka spontan saya marah, “Aduh, ngapain kamu, Maaarrkkk!” Namun ia hanya memandang saya dengan tatapan tanpa rasa bersalah sama sekali. Ia pun masih bisa nyengir, seakan ia berkata, “Siapa suruh Papa cuekin saya, kan tadi sudah saya panggil?”

Saya mencoba memetik pelajaran spiritual dari pengalaman kecil ini. Belakangan saya memang sedang struggle dalam menemukan waktu berdoa, saat bisa ngobrol santai dengan Tuhan tapi tetap mendalam. Oh, saya rindu sekali. Saya bersyukur bahwa Tuhan yang saya kenal bukan papa yang super sibuk sehingga setiap kali memerlukannya saya harus memanggil-manggil dia dengan suara yang keras, atau menarik-narik tangannya yang kaku, menggoyang kursi kenyamanannya, atau bahkan menyembur air susu ke lantai. Tuhanku tak pernah berkata, “Agus, kamu main dulu sendiri yah, aku sedang banyak pekerjaan nih.” Terpujilah Tuhan! Ia tak pernah berbuat begitu pada saya, pada semua anak-Nya. Ia Tuhan yang penuh perhatian; Ia peka pada kebutuhan kita. Padahal urusan Tuhan ada sejagat banyaknya. Sayang, perhatian dan kesudian Tuhan yang luar biasa ini nampaknya masih enggak cukup membuat kita menyadari betapa precious momen kebersamaan dengan-Nya. Kita justru meremehkan. Kawan, jika boleh saya berpesan, ada waktunya untuk bekerja, dan itu baik. Tapi jangan abaikan waktu untuk berdoa dan berbakti pada Tuhan. Bagaimanapun, kita memerlukan keseimbangan hidup.

Sekarang, kalau saya ‘digangguin’ Mark, saya jadi malu sendiri. Itu artinya saya sudah tidak peka pada kebutuhannya. Saya lantas memperingatkan diri sendiri, “Gus, apa kamu lebih banyak urusan daripada Tuhan? Mbok ya giliran jagamu dilakukan dengan baik…”

Tertangkap basah

Seorang tentara yang baru direkrut suatu hari diberikan tugas jaga pada pukul 2 pagi. Untuk sementara ia berhasil melaksanakan tugas dengan baik, tapi kira-kira 2 jam kemudian ia terlelap. Ketika ia terjaga, seorang pengawas telah berdiri tegap di hadapannya.

Menyadari betapa berat penalti bagi petugas jaga yang tertidur, pemuda cerdik ini tetap menundukkan kepalanya beberapa saat lagi. Lalu, dengan menatap ke langit dan dengan khusyuk, ia berkata, “A-a-a-min!” (sumber: bnet)

Saya jadi ingat pada orang-orang yang sepanjang penyampaian kotbah di gereja memejamkan mata mereka sambil manggut-manggut sesekali atau yang tertunduk saja entah mencari apa di bawah. Sempat saya berpikir untuk memergoki salah satu dari mereka, menepuk bahunya, atau berbuat apalah yang bisa membuatnya terjaga, dan salah tingkah. Tapi setelah membaca cerita ini, saya memutuskan untuk mengurungkan niat itu. Saya khawatir jika melakukannya, saya bisa dituduh mengganggu orang sedang berdoa. Dan itu tidak baik, apalagi saya seorang pastor…

Kata orang, pendeta itu...

Kata orang kehidupan pendeta atau hamba Tuhan itu serba baik, mungkin hampir sempurna. Atau paling tidak berada di atas rata-rata. Namanya juga hamba Tuhan, ya kan? Di sini saya coba mendaftar apa saja ‘kata orang’ mengenai kehidupan pendeta atau hamba Tuhan itu. Komentar saya ada di bawahnya.

1. Pendeta itu wise.
Jika bijaksana yang Anda mengerti adalah tahu segala hal dan bisa menjawab pertanyaan apapun. Well, saya kira itu tidak benar. Kalau kebetulan hal yang ditanyakan padanya berada dalam wilayah expertise-nya, mungkin ia bisa menjawab dengan wise. Pendeta memang belajar teologi, doktrin-doktrin yang njelimet, Hebrew dan Greek, sejarah Gereja, filsafat, dan counseling. Tapi ilmu-ilmu dan pengetahuan tersebut tak lantas membuatnya bisa menjawab segala soal kehidupan. Pendeta seperti juga Anda bisa berbuat salah, bisa memberi nasihat yang tidak wise. Jadi, don’t overestimate pendeta, nanti kepalanya jadi besar tak beraturan. Bersikap wajar saja, cukuplah sudah.

2. Doa-doanya lebih didengar Tuhan.
Ah, ada-ada saja. Tentulah Tuhan mendengar doa setiap orang kepunyaan-Nya. Dan orang kepunyaan-Nya bukan hanya pendeta. Doa-doa pendeta juga bukan jaminan terkabulnya permintaan-permintaan. Tidak. Tuhan mengabulkan sebuah doa oleh karena permohonan itu sesuai dengan kehendak-Nya. Bukan karena itu didoakan oleh pendeta. Doa-doa Anda pun dapat dikabulkan oleh Tuhan.

3. Pendeta itu bebas masalah. Kalaupun ada masalah, ia selalu bisa menyelesaikannya dengan baik.
Apakah Anda kira pendeta itu bukan manusia? Dewa atau Malaikat? Di dunia ini mana ada orang yang bebas masalah. Dan karena pendeta adalah orang (syukurlah), ia pun tak bebas masalah. Pendeta itu orang berdosa. Ia masih perlu pengampunan, banyak belajar, dan dibentuk oleh Tuhan. Ia punya kelemahan sama seperti orang lain. Ia bisa menjadi kecewa, bisa putus harapan, bisa patah semangat dan sakit hati. Semua itu tak nampak, jika Anda tak mengenali pendeta Anda dengan baik. Karena itu, pesan saya, berusahalah untuk mengenalnya lebih dekat. Ia butuh seorang kawan yang tepercaya, sebab acapkali ia merasa tersendiri. Dan dalam kesendiriannya, ia lalu jadi delusional: merasa dirinya istimewa, suci, dan kukuh.

Tahukah Anda bahwa
- 1600 pendeta di Gereja-gereja US berhenti atau mengundurkan diri dari pekerjaan mereka setiap bulannya?
- Hampir 20 persen pendeta menderita stres atau burnout?
- 50 persen pendeta bercerai? (Sumber: James O. Davis, president of Global Pastors Network)

Dengan statistics ini, apakah Anda masih berpikir bahwa pendeta itu bebas masalah, dan kalaupun ada masalah, ia selalu bisa menyelesaikannya sendiri dengan baik?

4. Apa yang dikatakan pendeta dari mimbar, itulah yang ia lakukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Saya berharap ini benar, dan sungguh terjadi, setidaknya dalam kehidupan saya sendiri. Sebagai pendeta saya mempergunakan banyak waktu untuk membaca buku dan mempersiapkan kotbah atau pendalaman Alkitab. Sebenarnya makin dalam saya menggali dan belajar, makin banyak pula pesan atau kebenaran yang buat saya sendiri sulit sekali untuk diterapkan. Tapi itu tak boleh jadi alasan saya untuk tak mengkotbahkannya. Nanti Majelis Jemaat bisa kelabakan mencari ganti saya. Maka, mau tak mau, suka tak suka, saya tetap maju berkotbah, menyampaikan pesan yang saya percaya Tuhan hendak bicarakan pada umat-Nya. Apakah dengan mengkotbahkannya berarti saya telah menghidupinya? Tidak. Pesan yang saya beritakan dari mimbar itu juga merupakan Firman Tuhan yang harus saya taati, gumuli, dan laksanakan dengan setia. Sampai sekarang saya masih jatuh bangun dalam melakukan Firman Tuhan, bahkan yang telah saya beritakan sendiri dari mimbar.