Thursday, December 23, 2010

Deep Christmas

















Para kudus yang kekasih,

Pada Natal tahun ini, mari kita merenungkan kembali cerita kelahiran Yesus yang telah kita akrabi semenjak kita menjadi Kristen. Teksnya saya petik dari Lukas 2: 8-20.

Sekelompok gembala di pinggir bukit Yudea tengah menjaga kawanan ternaknya pada waktu malam. Tiba-tiba malaikat Tuhan berdiri di hadapan mereka, dan kemuliaan Tuhan bersinar melingkupi mereka. Lalu malaikat itu mulai mewartakan Injil. Setelah ia selesai bicara, langit malam diguyur oleh cahaya kemuliaan. Pertama-tama satu malaikat datang, kemudian datang yang lain dan yang lain lagi, sampai sejumlah besar bala tentara surga berkumpul. Bersahut-sahutan mereka memuji Allah. Gloria in excelsis Deo.

Tuesday, December 21, 2010

Christmas 2009

Toronto, 25 Desember 2009

“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita,
dan namanya disebutkan orang:
… Raja Damai” (Yesaya 9:5).

Jemaat IRECT yang kekasih,

Hari ini kita memperingati Natal, atau kelahiran Tuhan Yesus di dunia. Nabi Yesaya menubuatkan bahwa Ia telah lahir untuk kita, “dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan” (ayat 6).

Christmas 2008

Toronto, 25 Desember 2008

Salam dalam kasih Yesus Kristus,

Saudara-i, setahun telah lewat, dan kita kembali merayakan Natal. Bagi beberapa orang Natal telah menjadi season belanja, sibuk, dan pesta. Natal sekarang sulit dipisahkan dari Christmas tree, kartu Natal, Santa Claus, reindeer, snowmen, dan minum egg nog. Tentu saja, tak ada yang salah dengan semua itu. Tapi apa hubungannya kegiatan-kegiatan kita, Santa serta benda-benda itu dengan kelahiran Tuhan Yesus? Mengapa kita menyebut semua itu Natal?

Out of the mouths of babes

Lihat, ia bercerita tanpa script di tangannya. Sungguh mengagumkan! Saya jadi teringat Tuhan Yesus pernah berkata, "Out of the mouths of babes and sucklings you have prepared praises." Mungkin ini salah satu contohnya.

Thursday, December 16, 2010

Pendeta sebagai pemimpin

Sebagai pemimpin gereja hendaknya kita mengetahui batas-batas kemampuan kita. Bisa berkhotbah dengan memukau tak lantas membuat kita bisa semua. Ada banyak orang di gereja yang jauh lebih gifted dalam aspek-aspek lain daripada kita. Mengapa mereka tak diberdayakan? Saya percaya bahwa memimpin gereja berarti memimpin bersama. Gereja bukan tempat yang tepat bagi lone rangers. Lone rangers need not apply!
















Pastor as leader
by David A. Davis

David A. Davis decides to spend his sabbatical learning about leadership and offers lessons from that immersion in a different world.

There are plenty of bad leadership books out there, and David A. Davis ran across many of them in his quest for wisdom about leadership. He offers a list of books worth reading on the topic.

October 12, 2010 | “It’s the hardest work I do.” I had found myself saying it more and more. It was an observation, not really a complaint. I wasn’t referring to weekly preaching, weddings or funerals, pastoral visitation or even discussions about money.

Wednesday, December 8, 2010

Church on the move

A blog post by Bishop Will Willimon of the North Alabama Conference of the United Methodist Church.

Church on the Move: In the Power of the Holy Spirit.

My image of the church that appears in the Acts of the Apostles is a church that is being dragged kicking and screaming into ever expanding areas of ministry, breathlessly attempting to keep up with the movements of the risen Lord. That’s evangelism, that’s mission – attempting to keep up with the movements of the Holy Spirit, attempting to keep up and not lag too far behind God’s relentless, restless movement to retake the world.

There is little biblical justification for a church that’s located, situated, bound to one place either geographically or organizationally. “Location, location, location,” was never a statement made by Jesus. How sad that the mission of many of our churches is the acquisition of and the upkeep of real estate.

... It’s a sad irony that our churches that built buildings for ministry have now allowed their ministry to be consumed by buildings.

Tuesday, December 7, 2010

God at the food court

Pada 13 November 2010 Hallelujah Chorus tiba-tiba dinyanyikan di food court, the Welland Seaway Mall, Welland, ON, Canada. Ya, ketika orang-orang, tua dan muda, asyik menyantap makanan mereka. Saksikanlah!

Monday, December 6, 2010

Ada kuasa dalam Firman-Nya

Naskah bacaan KPR 19: 8-20

Selama 3 bulan Paulus mengajar di Synagogue. Strategi Paulus belum berubah. Ia selalu mulai dari Synagogue. Namun Lukas memberi sebuah penekanan kali ini, yaitu bahwa Paulus mengajar dengan berani. Seperti dalam 20: 20 dan 27, Paulus is holding nothing back, tidak ada yang disembunyikan. Ia mengajar dengan terbuka dan terang-terangan. Bukan hanya itu, ia juga dikatakan ‘berusaha meyakinkan.’ Terjemahan harafiahnya, ‘reasoning and persuading.’ Dengan kata lain, ia berdialog, berdiskusi, bertukar pikiran, berusaha meyakinkan, memersuasi orang untuk percaya akan janji Tuhan yang digenapi oleh Yesus Kristus, menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Friday, December 3, 2010

Public

Ray Pennings shares his thoughts on the meaning of public and how people have missed the implication when they use the word. Pennings is Senior Fellow and Director of Research at Cardus. I hope you find this article beneficial. Enjoy!

Point of View
We Are the Public
December 3, 2010 - Ray Pennings

It's time to reclaim the word "public."

I don't mean to sound like a nerdy grammatical purist, as if etymological arguments are a trumping corrective to everyday conversation. In this case, discussing the development of the Greek polis might be illuminating, but current examples provide enough fodder to make my case.

A good job

Tulisan ini merupakan refleksi saya terhadap artikel David Greusel, Armies of Egypt. Artikelnya dapat diunduh di sini: Business and Technology

A good job. Sampai hari ini orang berlomba-lomba meraih a good job, tak terkecuali kita. Apa yang dimaksud dengan a good job? A good job yang dimaksud adalah kesempatan bekerja di sebuah perusahaan besar dan mapan. Mengapa orang melakukannya? Karena perusahaan-perusahaan besar menjanjikan security. Bukankah setiap orang merindukan rasa aman?

Tuesday, November 30, 2010

Akuntabilitas

Transkripsi wawancara telepon ini saya kira patut dibaca oleh para pendeta dan pengkhotbah. Meski wawancara ini berfokus pada politisi: Mengapa begitu banyak politisi Kristen melakukan skandal sex? Seperti dikatakan Michael Lindsay sendiri, para pengkhotbah juga perlu berwaspada. Tak sedikit pendeta jatuh dalam dosa sex dan pornografi. Saya berpendapat, ini terjadi karena banyak pendeta (khususnya, Evangelical) merasa too powerful untuk dikoreksi oleh orang lain. Bahkan mereka tak merasa perlu punya teman yang dapat mengawasi hidupnya, menjadi sahabat dalam pergumulannya.

Religion. Sex. Power.
By Michael Lindsay and Curtis Chang

Michael Lindsay is a sociologist at Rice University who specializes in issues surrounding leadership, religion, and culture. Lindsay conducted the nation's largest and most comprehensive study of public leaders who are people of faith, and published Faith in the Halls of Power: How Evangelicals Joined the American Elite. He has also written numerous articles and won several prestigious academic prizes and fellowships. He received his M.Div. from Princeton Theological Seminary and his Ph.D. from Princeton University.

It’s a scene so familiar it’s become cliché. Another national politician standing before a podium making another public confession of another scandalous sex affair, often while his wife stands rigidly beside him. It’s an awkward scene for everyone. But there’s another awkward aspect: that there’s a very good chance the politician in question has publicly identified himself as a devout Christian.

Today we’re riffing on the question: Why are so many Christian politicians caught in sex scandals? The issue is not just that Christian politicians are, when it comes to sexual indiscretions, like everyone else. They actually seem worse. In the past four years, of the nine major sex scandals involving congressmen, eight have involved a self-identified Christian -- and most were evangelical, conservative Republicans who campaigned explicitly on faith and family values. Here’s a roll call:

Friday, November 26, 2010

Amin












Amen, the biblical yes, is used, always, in relation to God, the God who established and makes persons firm and secure in eternal purpose and redemptive love. In response to that affirmation we say “Amen” – “Yes.” It is God’s most characteristic word; it is humankind’s most appropriate response. Scriptural citations show that the affirmation is both comprehensive and detailed.

Persons say “Amen” when they want to confirm the acceptance of a task assigned to them by God. When David directed his court prophet and priest to set apart Solomon to the kingship and gave directions on how to do it, one of the men shouted “Amen” (1 Kings 1: 36); that is, “we understand our instructions; we believe that this is the will of God; we will do it!”

Amen is used as a response of the individual to something inward and private with God – a personal yes to God. When Jeremiah was asked by God to be the prophet of reform in the years of Josiah, he gave a single word of response, “Amen” (Jeremiah 11: 5); “Yes, Lord, I will be the person you want me to be in these difficult days.” [Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992), pp. 160-161.]
Sangat disayangkan, amin-aminnya kita seringkali hanya lip service yang disampaikan dalam doa-doa demi untuk enak didengar, supaya orang lain yang mendengar tahu bahwa I am in, atau I agree with you. Padahal amin seperti itu adalah kesia-siaan belaka. Karena ia digunakan in relation to human, instead of God. Amin yang diucapkan bagi, atau sebagai tanggapan pada, manusia, tak bisa dipegang, karena manusia mudah goyah, berubah-ubah sikapnya. Akan tetapi amin yang diutarakan sebagai tanggapan terhadap amin yang berasal dari janji Allah akan meneguhkan hati kita melalui hari-hari tersulit hingga kita mencapai garis akhir. Pada siapa amin anda ditujukan?

Tuesday, November 23, 2010

The value of a man

Karl Barth wrote:
A man may be of value to another man, not because he wishes to be important, not because he possesses some inner wealth of soul, not because of something he is, but because of what he is - not. His importance may consist in his poverty, in his hopes and fears, in his waiting and hurrying, in the direction of his whole being towards what lies beyond his horizon and beyond his power. The importance of an apostle is negative rather than positive. In him a void becomes visible. And for this reason he is something to others: he is able to share grace with them, to focus their attention, and to establish them in waiting and in adoration. Karl Barth, The Epistle to the Romans (London: Oxford University Press, 1960), p. 33.
Banyak orang berpikir untuk menjadi penting, atau dianggap penting, atau kelihatan penting, maka mereka harus berbuat sesuatu, harus duduk di kursi tertentu, harus membikin proyek-proyek besar. Kalau tidak begitu, mereka merasa belum bernilai. Kata-kata Barth di atas perlu kita renungkan dalam-dalam. Ia sedang melawan arus deras pandangan banyak orang. Seorang bernilai bagi orang lain bukan karena sesuatu yang ia miliki, atau apa yang ada pada dirinya, melainkan justru karena sesuatu yang tiada padanya, apa yang bukan berasal dari dirinya. Dalam kemiskinan, dalam pengharapan dan ketakutannya, dalam penantian dan ketergesa-gesaannya, dalam pengarahan diri kepada apa yang berada di luar dirinya, sesuatu yang lebih besar, yang melampaui dirinya. Barth mengingatkan saya pada hymne yang terdapat di Filipi pasal 2, bahwa dengan pengosongan diri seperti Yesus barulah kita bisa berbagi kasih secara genuine; membantu orang lain untuk berfokus bukan pada diri kita lagi, tetapi pada Ia, Sang Penebus yang akan datang kembali.

Monday, November 22, 2010

Menderita dalam komunitas










It’s inhuman to wall yourself up in pain and memories as if in prison. Suffering must open us to others. It must not cause us to reject them. The Talmud tells us that God suffers with man. Why? In order to strengthen the bonds between creation and Creator; God chooses to suffer in order to better understand man and be better understood by him. But you, you insist upon suffering alone. Such suffering shrinks you, diminishes you. Friend, that is almost cruel.
Kalimat di atas diselipkan Elie Wiesel pada salah satu karakter dalam novelnya Gates of the Forest. Yang menarik adalah bagaimana Wiesel memandang penderitaan. Baginya, penderitaan tak sepatutnya dialami seorang diri, ia juga harus dibagi-bagi dengan orang lain dalam komunitas. Seperti sembako aje, dibagi-bagi. Tapi jangan keliru, saya setuju banget dengan Wiesel. Menderita seorang diri tak membuat kita tambah perkasa, tambah suci - holier than thou, atau tambah saleh; sebaliknya, ia memiskinkan. Saya kira Wiesel tak berlebihan dengan mengatakan perbuatan seperti itu mendekati kezaliman.

Power

Power berada di mana-mana. Power struggle dapat kita jumpai dalam setiap relasi antarpribadi. Antara suami-istri, antara ortu-anak, antara guru-murid, antara bos-karyawan, antara pendeta-anggota jemaat yang dilayaninya. Mestinya kita tidak perlu khawatir atau takut akan power. Karena power memang diperlukan dalam kehidupan ini. Sejauh power dipakai dengan arif bijaksana, bukan buat membelenggu orang lain, bukan buat merebut hak orang lain, bukan buat menindas orang lain (dengan kata lain, power abuse), melainkan untuk melayani, mengangkat, meringankan beban, membangun, menyembuhkan, memperkaya. Meminjam Karen Lebacqz, power for bukan power over. James Olthuis dalam ‘Beautiful Risk’ menawarkan term lain, yaitu power-with.

Jadi, sebenarnya kita tidak usah takut pada power. Ketakutan kita pada power malah memberi 'makan’ power yang kita takuti itu. Pikiran-pikiran dan tindak-tanduk kita seakan dihantuinya. Ke manapun kita pergi dikuntitnya. Apapun yang kita lakukan dibayang-bayanginya. Ah, apa kita tidak jadi lumpuh dibuatnya?!

Coba deh cermati vicious circle ini. Makin kita takut, makin besar kuasanya atas kita, makin ia melumpuhkan kita, akibatnya, kita makin takut lagi padanya. Begitu terus, berputar tak henti-henti sampai kita mati sendiri.

Kawan, bukankah kita percaya dan tahu bahwa power terbesar yang tiada duanya di dunia dan akhirat terletak di tangan Tuhan saja, dan bukan di tangan manusia, siapapun dia? Maka, takutlah akan Allah, bukan manusia. Takutlah pada kuasa Allah, bukan pada kuasa manusia. Biarlah kebesaran dan kemuliaan Allah saja yang menguasai hati dan imajinasi kita. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai rohmu.

Wednesday, November 17, 2010

Hauerwas

Stanley Hauerwas is one of my favorite theologians. He, by the way, has almost convinced me I need to subscribe pacifism. It was close, Stan, ha-ha. He is also a prolific writer. Some of his books include, The Peaceable Kingdom (1983), Against the Nations 1985), Resident Aliens (1989), After Christendom (1991), Dispatches from the Front (1994), Christianity, Democracy and the Radical Ordinary (2008), and most recently Hannah's Child: A Theologian's Memoir (2010). Here is an interview with Hauerwas at Duke University.

Keluhuran dalam penderitaan

Eugene kembali mengingatkan saya akan betapa pentingnya penderitaan dalam kehidupan Kristen. Baca sub-bagian Dignity dalam pasal III Five Smooth Stones for Pastoral Work.

“Suffering is an event in which we are particularly vulnerable to grace, able to recognize dimensions in God and depths in the self. To treat it as a ‘problem’ is to demean the person” (p. 139).

Kebanyakan dari kita melihat penderitaan sebagai masalah untuk dipecahkan, untuk diperbaiki, untuk dicari jalan keluarnya. Kita menghargai solusi cepat. Bukankah di mana-mana orang berpikir seperti itu? Dokter mana yang mampu memberikan obat manjur, begitu dimakan seketika sembuh, ia yang kita cari. Kalau perlu, saking cepatnya, hingga kita tidak ingat lagi bahwa kita pernah menderita. Ide dasarnya adalah buat penderitaan pergi secepat-cepatnya, tinggalkan segera, sudah itu lupakan. Pertanyaannya, apakah itu nyata? Cobalah pikirkan ulang, apakah benar duka lara seorang yang barusan kehilangan kekasihnya bisa dikelola seperti mengelola sebuah perusahaan? Jangan-jangan hari ini Gereja lebih mengenal teknik manipulasi ‘grief management’ ketimbang berusaha untuk saling menanggung beban satu sama lain, ketimbang melatih kesabaran (longsuffering). Seriuskah kita menanggapi penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita?

Terima kasih pada Eugene yang mengajak saya kembali pada Ratapan, sebuah kitab yang agaknya ‘neglected’ bagi banyak Kristen. Dalam kitab tersebut penderitaan justru dipandang sebagai pengalaman yang luhur. Penderitaan dihadapi, ditemui. Ratapan tak mau memberikan kita jalan keluar, ia juga tak berpretensi untuk ‘membantu’ kita; sebaliknya, ia mengajar kita untuk meresponi penderitaan sebagai sesuatu yang signifikan. Ratapan tak mengizinkan kita mengambil sikap ‘hanya numpang lewat’ terhadap penderitaan, karena ketika itu kita sedang mengalami kemuliaan Kristus yang nampak pada salib-Nya. Ingat Injil Yohanes, di salib Yesus diangkat, ditinggikan, diagungkan. Tentunya berhadapan dengan Kristus mahamulia, kita tak sudi pergi cepat-cepat. Jika kita, pelayan-pelayan gerejawi, memahami hal ini dengan baik, saya percaya tanggapan kita terhadap penderitaan orang lain akan berbeda dari yang dunia ini tawarkan. Kita mungkin akan kurang berbuat (do less), tetapi akan lebih menjadi (be more). Dengan kata lain, dalam pelayanan kita akan lebih menghargai si penderita.

“By rooting the pastor in a way of taking suffering seriously, it encourages the ‘longsuffering’ of pastoral work, gives meaning and dignity to the person who suffers, and leaves the healing up to God in Christ on the cross” (p. 141).

Tuesday, November 16, 2010

The possibility

An interview with Eugene Peterson at Luther Seminary.



Listener panel

Tentang pendampingan

Tugas seorang rohaniwan adalah mendampingi orang yang sedang menderita, berbagi dengan kesusahannya, menyelami nyeri dan absurditas yang ia rasakan, berjalan dengannya menuruni lembah kekelaman. Seorang rohaniwan tak dipanggil untuk mengangkat penderitaan orang lain, meminimalkan, atau meringankan bebannya. Model atau tauladan kita ialah Yesus Kristus yang bersedia menanggung penyakit kita; memikul kesengsaraan kita (Yesaya 53: 4). Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh seorang rohaniwan sebenarnya mengintensifikasi kapasitas orang yang sedang menderita untuk menyelami penderitaannya; memampukan ia untuk merasakan nyeri; menyobek tirai yang membentang di antara kehidupan dan sakit. Seorang rohaniwan yang berupaya menukar pendampingan melewati lembah kekelaman ini dengan placebo atau obat tenang tak lain ialah seorang pengecut. Atau dengan metafor lain: Melakukan itu sama seperti menggambar graffiti di dinding lembah kekelaman untuk menarik perhatian orang yang sedang berjuang melaluinya.

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992), pp. 135-136.

Monday, November 15, 2010

Teo-logi

















Charles Spurgeon adalah pengkhotbah tersohor abad ke-19. Di sebuah website yang didedikasikan baginya terdapat pernyataan seperti ini: “Jika di Amerika ada D. L. Moody, maka di Inggris ada Charles Spurgeon.” Sejak berumur 19 tahun Spurgeon telah berkhotbah kepada orang banyak. Ada catatan yang mengatakan bahwa ia pernah berkhotbah di hadapan 24,000 orang. Ketika Gereja Metropolitan Tabernacle berdiri, ribuan orang berkumpul setiap hari Minggu selama 40 tahun untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya.

Dengan tulisan pendek ini, saya hendak memperkenalkan seorang perempuan yang jarang kita dengar namanya, namun yang pengaruhnya begitu besar terhadap Spurgeon.

Ketika berumur 15 tahun, Spurgeon menjadi guru piket (usher) dan pelajar di Newmarket, Cambridgeshire. Di sanalah, menurut pengakuannya, ia mendapat pelajaran teologi pertama dari seorang perempuan tua penganut 5 pokok Calvinisme ala Baptist ketat bernama Mary King.

Yang mengagumkan, Mary King, dipanggil juga ‘the cook,’ sebenarnya hanya seorang pembantu dan tukang masak di sekolah Newmarket. Meski begitu ia memiliki pemahaman Alkitab yang menyeluruh. Pelajaran teologi ia peroleh terutama dari The Gospel Standard (mungkin sebuah jurnal Kristen) yang ia baca secara teratur.

Seperti telah saya katakan di atas, tak banyak orang mengenal Mary King. Saya pun baru menemukannya belakangan ini. Namun demikian, pengaruh Mary King terhadap kehidupan pelayanan Spurgeon tak dapat dianggap kecil. Cobalah baca apa yang dikatakan Spurgeon sendiri mengenai Mary King:
She liked something very sweet indeed, good strong Calvinistic doctrine, but she lived strongly as well as fed strongly. Many a time we have gone over the covenant of grace together, and talked of the personal election of the saints, their union to Christ, their final perseverance and what vital godliness meant; and I do believe that I learnt more from her than I should have learned from any six doctors of divinity of the sort we have nowadays.
Spurgeon percaya bahwa pelajaran teologi yang ia dapati dari Mary King lebih banyak daripada yang mungkin ia peroleh dari 6 doktor teologi sekalipun. Tidakkah ia luar biasa?

Mungkin kita pernah merasa minder dan berkata, “Ah, siapalah saya hanya seorang awam.” Kita merasa inadequate untuk mengajar orang lain. Kita kan bukan pendeta. Kita tidak terpelajar. Kita tak pernah mengecap pendidikan teologi formal. Dan masih banyak excuses lain yang bisa kita daftarkan di sini. Sebagian dari daftar itu tentu saja ada benarnya. Memang benar bahwa kebanyakan kita tidak berpendidikan teologi formal. Benar juga bahwa sebagian dari kita hanya tamatan high school. Tapi siapa bilang seorang tamatan high school tak pantas bicara teologi. Siapa bilang seorang yang tak berpendidikan teologi formal mesti tutup mulut dan tak usah peduli pada urusan-urusan doktrin. Apakah teologi telah menjadi monopoli kaum elit?

Di Kisah Para Rasul pasal 18 ada pasangan suami istri bernama Akwila dan Priskila. Ingat, mereka pun bukan kaum terpelajar. Mereka hanya pengusaha tenda yang sehari-harinya berurusan dengan transaksi dagang, order, berbagai jenis kulit, dan material tenda lainnya. Namun demikian, status dan pekerjaan sehari-hari mereka tak lantas membuat mereka terbelakang dalam soal-soal doktrin Kristen. Lukas, penulis Kisah Para Rasul, dengan lugas mengatakan bahwa Priskila dan Akwila mampu menjelaskan Jalan Tuhan dengan lebih akurat (lihat ayat 26; terjemahan yang lebih baik dari kata Yunani ‘akribesteron’ adalah secara lebih akurat, bukan seperti LAI menerjemahkannya ‘dengan teliti.’) ketimbang Apolos melakukannya. Padahal Apolos adalah seorang terpelajar dari Alexandria - Mesir, seorang yang sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci.

Kalau begitu, teologi, doktrin Kristen, akurasi, kebenaran seharusnya tak lagi kita pandang sebagai urusan dan tanggung jawab pendeta dan teolog tetapi juga urusan dan tanggung jawab kita bersama. Doktrin gereja mestinya menjadi concern setiap orang yang mengaku percaya pada Yesus Kristus.

Monday, November 8, 2010

Berkhotbah dengan air mata

Kemarin, ketika menyampaikan khotbah, saya menangis. Air mata saya mengalir cukup deras. Pernah dulu, kira-kira tiga tahun silam, saya mengalami hal yang sama. Saya merasa sangat vulnerable, namun Firman Tuhan memberikan assurance. Saya merasa tak pantas melayani, namun Tuhan masih sudi menerima saya. Perlakuan semacam dan kesadaran tersebut tak dapat saya elakkan benar-benar menggetarkan hati. Saya terharu. Saya menangis.

Kali ini terjadi ketika dalam khotbah saya tiba pada sebuah point bahwa orang-orang kepercayaan Tuhan sesungguhnya sangat dikasihi, dihargai, dan dipercayai-Nya. Problems yang saya hadapi belakangan membuat saya jatuh pada apatisme. Saya menjadi sombong, merasa benar sendiri. Saya lupa diri. Tapi kemudian saya teringat kawan saya, Karl Lin, yang walau telah berusia 60 tahun masih bertekad keras untuk melayani jemaat Tuhan dengan segenap hati, apapun tantangan yang ia hadapi, diperlakukan kasar dan tak pantas oleh orang-orang di gerejanya, ia masih berusaha memperlihatkan sikap Kristus yang lemah lembut, dan memandang pekerjaan pelayanan sebagai pekerjaan yang amat luhur. Ia berkata pada saya, “Ketika kita berkhotbah, Tuhan sedang memakai kita. Ingat itu! Ketika itu tiada pribadi yang lebih penting dari pada Tuhan sendiri.”

Jika Karl memiliki high view mengenai pelayanan, bagaimana dengan saya sekarang? Bagaimana pula dengan teman-teman saya di gereja ini, apakah mereka masih memiliki kekaguman dan keseriusan yang ada pada Karl? Perasaan gagal namun masih diberi kesempatan, haru akan kesabaran dan kasih Tuhan, menyebabkan air mata saya malam itu tak tertahankan lagi.

Monday, November 1, 2010

Run!

Hebrews 11: 39 – 40
39 And all these, though commended through their faith, did not receive what was promised, 40 since God had provided something better for us, that apart from us they should not be made perfect.

Setiap orang Kristen, tanpa terkecuali, dipanggil untuk berlari dalam perlombaan. To run the race that is set before us. Ayat 39-40 memberikan satu motivasi penting untuk berlari sampai kita mencapai garis finish.

Something better for us
All these, mereka semua. Siapa yang dimaksud dengan mereka semua? Mereka semua adalah para saksi iman yang disebutkan dalam Hebrews 11. Mereka adalah Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Rahab, Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud, Samuel dan para nabi. Penulis tentu saja tak memberikan complete list dari para saksi. Sebab katanya, jika ia harus melakukannya, ia akan kekurangan waktu. Baik, mari kita lanjutkan pembahasan ini.

Penulis berkata selanjutnya bahwa mereka semua tidak menerima apa yang dijanjikan. Lho, mengapa? Apakah mereka quit di tengah jalan? Apakah mereka gagal mencapai garis akhir? Tidak. Ayat 39 berkata bahwa iman mereka telah memberikan pada mereka suatu kesaksian yang baik. Jadi, bukan karena kesalahan mereka, jika mereka tidak menerima apa yang dijanjikan. Lalu mengapa? Ayat 40 menjawab pertanyaan kita. Sebab Allah telah menyediakan something better. Apa yang dimaksud dengan something better? Temukan jawabannya di pasal 11, ayat 10, karena iman Abraham menantikan tanah yang lebih baik, yaitu sebuah kota yang berfondasi, dan yang mana Allah sendiri adalah pendirinya. Ditegaskan lagi dalam ayat 16, karena iman mereka semua merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu tanah air surgawi. Allah telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka. Sebuah kota yang oleh St. Augustine disebut De Civitate Dei. Sampai di sini segala sesuatu nampaknya makes sense. Tapi tunggu dulu. Perhatikan baik-baik, penulis tak hanya berkata something better. Ia berkata, “something better for us.” Seandainya saja ia berkata something better for them, itu tidaklah sulit kita pahami. Sebab memang begitu line of thought-nya sejak tadi. Okay, sekarang bagaimana frase itu sebaiknya dimengerti?

Sebenarnya ayat 39 dan 40 merupakan kalimat pengait antara mereka, para kudus yang hidup di zaman Perjanjian Lama dan kita, para kudus yang hidup di zaman Perjanjian Baru. Jadi seperti ada cord of faith yang teruntai tak terputus. Mereka dan kita ternyata tak berdiri sendiri-sendiri; sebaliknya, mereka dan kita berkait erat. Allah menyediakan something better tak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita. Namun, sebagaimana ungkapan Prancis, noblesse oblige: pada keluhuran melekat kewajiban, baiklah kita memerhatikan pula kewajiban apa yang dipercayakan pada kita. Apakah itu? Ayat 40 berkata bahwa apart from us, mereka tak akan menjadi sempurna. Dihubungkan dengan metafora perlombaan lari, ini berarti kesempurnaan yang dijanjikan Allah baru akan tercapai jika semua orang tebusan-Nya menyelesaikan perlombaan imannya. Para kudus dalam Perjanjian Lama telah menyelesaikan bagian mereka. Mereka tidak sempurna, tapi iman mereka telah memberikan kesaksian yang baik, yaitu dengan menyelesaikan bagian mereka. Sekarang tinggal kita yang hidup di zaman Gereja, ya kita pun harus menyelesaikan bagian kita, malahan kitalah barisan runners terakhir yang diharapkan dapat menyentuh garis akhir. Ingatlah ini, Sobat, tanpa kita mereka tak dapat sampai pada kesempurnaan. Maka tetaplah berjuang dan capailah garis akhir itu.

Friday, October 29, 2010

Fluant lacrimae, sed eadem et desinant!

Setelah sekian lama mengeram tanpa menghasilkan apa-apa, rasa rindu menulis tak dapat saya tolak lagi. Saya membuka kitab Five Smooth Stones For Pastoral Work karya Eugene Peterson, dan menemukan baris-baris ini.

Lamentations provides a model for dealing with this sense of endlessness in suffering by putting the suffering within the frame of the acrostic. There is a countable, alphabetical scheme - so that when you are at A, you know that Z is, even though a long way off, still there, and that will end the series. The acrostic framework of Lamentations gives a context to the suffering which has boundaries. A sense of finitude is communicated by indirect, nonverbal, means. Fluant lacrimae, sed eadem et desinant! - let the tears flow, but let them also cease! [p. 123]

Bentuk akrostik dalam buku Ratapan oleh karenanya membantu pastors melayani mereka yang sedang menderita dengan memberikan kerangka kerja, atau framework, dan dengan demikian mengingatkan mereka yang kita layani bahwa penderitaan tak eksis untuk selamanya. Maka pastors perlu memerhatikan timing. Harus ada saat kita memberikan ruang seluas-luasnya kepada orang yang berduka untuk bertutur mengenai kedukaannya. Tapi kesempatan ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bukan karena pastors banyak urusan dan tuntutan lain, tapi karena penderitaan dan kedukaan harus diberi batasan, harus ditaruh dalam skema. Dengan kata lain, harus ada kata 'cukup' dalam konseling pastoral.

Baiklah saya akhiri post ini dengan sekali lagi mengutip Eugene, "Evil is recognized and bravely faced, but it is not permitted to become an obsession." [p. 124] Kejahatan harus dikenali dan dihadapi dengan berani, namun tak boleh ia diizinkan menjadi obsesi.

Thursday, October 28, 2010

Festival of friends

i just got back from a pastor's conference on friendship that was held at tyndale. arthur boers, one of the resource peoples, introduced me to the song composed by bruce cockburn, festival of friends. boers said that he wants to see this conference as a festival of friends, which i think it was.

here is the lyric:

5 April 1975. Burritt's Rapids.

An elegant song won't hold up long
When the palace falls and the parlour's gone
We all must leave but it's not the end
We'll meet again at the festival of friends.

Smiles and laughter and pleasant times
There's love in the world but it's hard to find
I'm so glad I found you -- I'd just like to extend
An invitation to the festival of friends.

Some of us live and some of us die
Someday God's going to tell us why
Open your heart and grow with what life sends
That's your ticket to the festival of friends.

Like an imitation of a good thing past
These days of darkness surely will not last
Jesus was here and he's coming again
To lead us to his festival of friends.

Black snake highway -- sheet metal ballet
It's just so much snow on a summer day
Whatever happens, it's not the end
We'll meet again at the festival of friends.

Wednesday, October 6, 2010

Doa Ikrar

Di bawah ini adalah doa ikrar yang dikarang oleh Pdt. John Wesley. Saya mencoba menerjemahkannya secara bebas. Semoga menjadi berkat bagi anda.

Covenant Prayer
John Wesley

I am no longer my own, but thine.
Put me to what thou wilt, rank me with whom thou wilt.
Put me to doing, put me to suffering.
Let me be employed for thee or laid aside for thee,
exalted for thee or brought low for thee.
Let me be full, let me be empty.
Let me have all things, let me have nothing.
I freely and heartily yield all things to thy pleasure and disposal.
And now, O glorious and blessed God, Father, Son and Holy Spirit,
thou art mine, and I am thine.
So be it.
And the covenant which I have made on earth,
let it be ratified in heaven.
Amen.

Doa Ikrar
John Wesley

Aku bukan milikku lagi, tapi milik-Mu.
Taruh aku di mana Kau mau, letakkan aku dengan siapa Kau mau.
Tempatkan aku untuk bekerja, tempatkan aku untuk menderita.
Izinkan aku dikaryakan bagi-Mu atau dikesampingkan bagi-Mu,
ditinggikan bagi-Mu atau direndahkan bagi-Mu.
Biarkan aku penuh, biarkan aku kosong.
Biarkan aku memiliki segalanya, biarkan aku tak punya apa-apa.
Dengan bebas dan segenap hati aku menyerahkan segalanya untuk dipakai sesuka hati-Mu.
Dan kini, Ya Allah yang Mulia dan Terpuji, Bapa, Putra dan Roh Kudus,
Engkau milikku dan aku milik-Mu.
Kehendak-Mu jadilah.
Dan perjanjan yang telah kubuat di bumi,
kiranya terjadi pula di surga.
Amin.

Wednesday, September 15, 2010

Friendship

Minggu lalu, dalam perayaan ulang tahun gereja yang ke-9, saya berkhotbah mengenai spiritual friendship. Hari ini tanpa sengaja saya menemukan sebuah lagu ballad jadoel berjudul "He Ain't Heavy, He's My Brother" gubahan Bobby Scott dan Bob Russell yang memperkuat pesan saya. Selamat merenungkan lagu ini. Liriknya saya sertakan di bawah video clip.



The road is long
With many a winding turn
That leads us to who knows where
Who knows where
But I'm strong
Strong enough to carry him
He ain't heavy, he's my brother.

So on we go
His welfare is of my concern
No burden is he to bear
We'll get there
For I know
He would not encumber me

If I'm laden at all
I'm laden with sadness
That everyone's heart
Isn't filled with the gladness
Of love for one another.

It's a long, long road
From which there is no return
While we're on the way to there
Why not share
And the load
Doesn't weigh me down at all
He ain't heavy, he's my brother.

He's my brother
He ain't heavy, he's my brother.

Wednesday, August 11, 2010

Bahaya namun bahagia

Berikut ini stastistik pendeta dari “Pastors At Greater Risk” by H. B. London Jr. and Neil Wiseman, Regal Books, 2003.
  • 80% of pastors say they have insufficient time with spouse and that ministry has a negative effect on their family.
  • 40% report a serious conflict with a parishioner once a month.
  • 33% say that being in ministry is an outright hazard to their family.
  • 75% report they've had a significant stress-related crisis at least once in their ministry.
  • 58% of pastors indicate that their spouse needs to work either part time or full time to supplement the family income.
  • 56% of pastors' wives say they have no close friends.
  • 45% of pastors' wives say the greatest danger to them and family is physical, emotional, mental and spiritual burnout.
  • 21% of pastors' wives want more privacy.
  • Pastors who work fewer than 50 hours a week are 35% more likely to be terminated.
  • 40% of pastors considered leaving the pastorate in the past three months.
Kalau anda mulai merasa sesak, maafkan saya, berikut ini statistik tambahan:
  • 1500 pastors leave the ministry each month due to moral failure, spiritual burnout, or contention in their churches.
  • 50% of pastors’ marriages will end in divorce.
  • 80% of pastors and eighty-four percent of their spouses feel unqualified and discouraged in their role as pastors.
  • 50% of pastors are so discouraged that they would leave the ministry if they could, but have no other way of making a living.
  • 80% of seminary and Bible school graduates who enter the ministry will leave the ministry within the first five years.
  • 70% of pastors constantly fight depression.
  • Almost 50% polled said they have had an extra-marital affair since beginning their ministry.
  • 70% said the only time they spend studying the Word is when they are preparing their sermons. [Compiled by pastor Darrin Patrick]
Agar terjadi ekuilibrium, maka saya sertakan pula di bawah ini sebuah reportase yang terang. Sekarang anda boleh merasa lega dan tersenyum lebar.

Service to others not just a job
Clergy happiest in U.S. work force, survey indicates
By KRISTINA HERRNDOBLER Copyright 2007 Houston Chronicle
April 20, 2007, 2:05PM

Clergy may complain about their salaries or the blurred boundaries between their work and private lives, but apparently they are as happy as it gets.

That's according to a study on job satisfaction and general happiness by the University of Chicago, in which 87 percent of clergy polled said they were very satisfied with their jobs. Clergy also topped the happiness scale, with 67 percent saying they were very happy.

When researchers asked those questions of 27,500 randomly selected U.S. workers over the course of nearly two decades, only 47 percent of people said they were very satisfied with their jobs and 33 percent said they were generally very happy. The survey did not show whether job satisfaction and happiness rates had changed over the years.

After clergy, the most satisfied workers were firefighters at 80 percent and physical therapists at 78 percent, according to the report released Tuesday.

Roofers ranked dead last, with only 25 percent saying they found their work satisfying.

The most satisfying professions are those that involve helping others, noted report author Tom W. Smith of the National Opinion Research Center at the University of Chicago.

Even so, he called the clergy's rankings striking, saying they were the study's single strongest finding.

They are also a bit surprising, said J. Pittman McGehee, a former dean of Houston's Christ Church Cathedral who now works as Jungian analyst, counseling both clergy and their families.

After learning of this study, McGehee asked a group of clergy their thoughts: "They laughed out loud when I said 87 percent," he said. "They were shocked."

Out of respect for ordination, the clergy surveyed may have felt constrained to tell researchers that they were satisfied and happy in a way that other workers wouldn't, he said.

Nonetheless, McGehee said most clergy love their calling, meaning the teaching, preaching, pastoring and sacramental part of it. They aren't fond of the politics, the pay and the administrative duties.

"The vocational part of it is as fulfilling as any job could be," he said. "The job is a hard one because of all the things you are asked to do, none of which you are trained for and none of which you are called to do."

When Jackson W. Carroll, a professor emeritus of religion and society at Duke Divinity School, set out to study ministers' job satisfaction some years back, he assumed the results would show low satisfaction and morale.

“We were surprised to find that clergy were both basically satisfied and highly committed to their calling,” Carroll said. "That was not what we had expected to find based on informal conversation and listening to clergy in gripe sessions."

Numerous studies have been done on the satisfaction rates of clergy from various religions and denominations, he said, and they overwhelmingly show high levels of satisfaction, likely because they feel their work is not just a job but a calling from God, he said.

But for their wives and families, who may not feel the same calling, it can be a tough life.

Ginger Kolbaba, the daughter of a pastor and co-author of the new novel Desperate Pastors' Wives, said that she has seen how spiritually satisfying her father's life has been to him, especially when he can help people.

But his job took its toll on their family, she said.

"I'm one of the fortunate ones, in that I didn't do a lot of outward rebelling, like doing drugs and partying," she said. "But I turned it inward to anger. Kids don't sign up for the gig."

Austin pastor Dan Davis, a former businessman who now heads pastor covenant groups, said there is a tremendous amount of pressure on those he meets with, and their families, including overbearing church boards and sharing parishioners' struggles and pain. But the end goal is worthy, he said.

"There is a deeper satisfaction that comes from knowing you are connecting people with God," Davis said. "You don't experience that in the secular world." [kristina.herrndobler@chron.com]

Tuesday, August 10, 2010

Pendeta, pekerjaan yang tidak sehat

[Membaca laporan Paul Vitello untuk NYT ini sebenarnya tak membuat saya heran. Sudah banyak saya membaca tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa pekerjaan pendeta itu berat dan karenanya break sangat diperlukan. Yang membuat artikel ini berbeda daripada yang lain sehingga saya merasa perlu menindaklanjutinya adalah saya. Sekarang saya mulai mengalami kebenarannya. Berat badan saya bertambah sekitar 20-25%, beberapa kali mengalami gangguan tidur dan mild depression. Syukur-syukur, Oh, Tuhan sungguh baik, belum sampai saya makan antidepressant.

Pertanyaan buat anda, para pendeta: dari pengalaman anda melayani, apa sih yang membuat pastor’s job itu berat, lebih berat daripada job-job lain? Atau, sebenarnya ngga berat-berat amat. Tapi kalau ngga, kenapa trend burnout pada pendeta meningkat ya? Kalau sempat, baca juga Body and soul dan Clergy health initiative ya...]

THE NEW YORK TIMES
August 1, 2010
Taking a Break From the Lord’s Work
By PAUL VITELLO

The findings have surfaced with ominous regularity over the last few years, and with little notice: Members of the clergy now suffer from obesity, hypertension and depression at rates higher than most Americans. In the last decade, their use of antidepressants has risen, while their life expectancy has fallen. Many would change jobs if they could.

Public health experts who have led the studies caution that there is no simple explanation of why so many members of a profession once associated with rosy-cheeked longevity have become so unhealthy and unhappy.
But while research continues, a growing number of health care experts and religious leaders have settled on one simple remedy that has long been a touchy subject with many clerics: taking more time off.

“We had a pastor in our study group who hadn’t taken a vacation in 18 years,” said Rae Jean Proeschold-Bell, an assistant professor of health research at Duke University who directs one of the studies. “These people tend to be driven by a sense of a duty to God to answer every call for help from anybody, and they are virtually called upon all the time, 24/7.”

As cellphones and social media expose the clergy to new dimensions of stress, and as health care costs soar, some of the country’s largest religious denominations have begun wellness campaigns that preach the virtues of getting away. It has been described by some health experts as a sort of slow-food movement for the clerical soul.

In the United Methodist Church in recent months, some church administrators have been contacting ministers known to skip vacation to make sure they have scheduled their time, Ms. Proeschold-Bell said.

The church, the nation’s largest mainline Protestant denomination, led the way with a 2006 directive that strongly urged ministers to take all the vacation they were entitled to — a practice then almost unheard of in some busy congregations.

“Time away can bring renewal,” the directive said, “and help prevent burnout.”

The Episcopal, Baptist and Lutheran churches have all undertaken health initiatives that place special emphasis on the need for pastors to take vacations and observe “Sabbath days,” their weekday time off in place of Sundays.

The Lilly Endowment, a philanthropic foundation based in Indiana, has awarded grants of up to $45,000 each to hundreds of Christian congregations in the past few years, under a project called the National Clergy Renewal Program, for the purpose of giving pastors extended sabbaticals.

And while recent research has focused largely on mainline Protestant churches, some Jewish leaders have begun to encourage rabbis to take sabbaticals.

“We now recommend three or four months every three or four years,” said Rabbi Joel Meyers, a past executive vice president of the Rabbinical Assembly, the international association of Conservative rabbis. “There is a deep concern about stress. Rabbis today are expected to be the C.E.O. of the congregation and the spiritual guide, and never be out of town if somebody dies. And reply instantly to every e-mail.”

Some nondenominational evangelical Christian ministers have embraced a similar approach, outlined in two best-selling books by the Rev. Peter Scazzero, pastor of the New Life Fellowship Church in Elmhurst, Queens.

Mr. Scazzero, 54, is the unofficial leader of a growing counterculture among independent pastors who reject the constant-growth ethic that has contributed to the explosion of so-called mega-churches.

In the books, “Emotionally Healthy Spirituality” and “The Emotionally Healthy Church,” he advocates more vacation time for members of the clergy, Sabbath-keeping, and a “rhythm of stopping,” or daily praying, that he learned from the silent order of Trappist monks.

Mr. Scazzero said that depression and alienation from his wife and four children prompted him a half-dozen years ago to try living more consciously and less compulsively.

“It’s hard to lead a contemplative life on Queens Boulevard,” Mr. Scazzero said. “But the insight I gained from the Trappists is that being too ‘busy’ is an impediment to one’s relationship with God.”

Clergy health studies say that many clerics have “boundary issues” — defined as being too easily overtaken by the urgency of other people’s needs.

Dr. Gwen Wagstrom Halaas, a family physician who is married to a Lutheran minister and who wrote a 2004 book raising the alarm about clergy health (“The Right Road: Life Choices for Clergy”), described the problem as a misperception about serving God.

“They think that taking care of themselves is selfish, and that serving God means never saying no,” she said.

Larger social trends, like the aging and shrinking of congregations, the dwindling availability of volunteers in the era of two-income households, and the likelihood that a male pastor’s wife has a career of her own, also spur some ministers to push themselves past their limits, she said.

The High Mountain Church of the Nazarene in North Haledon, N.J., started with 25 members 10 years ago and grew to 115 before its pastor, the Rev. Steven Creange, noticed strains in his marriage and decided to slow down.

Mr. Creange said he and his wife feel lavishly rested — and much happier — since they began observing Sabbath days on Fridays and making occasional weekend getaways.

“I just don’t go to every graduation and every communion anymore,” he said. “And people accept it.”

In May, the Clergy Health Initiative, a seven-year study that Duke University began in 2007, published the first results of a continuing survey of 1,726 Methodist ministers in North Carolina. Compared with neighbors in their census tracts, the ministers reported significantly higher rates of arthritis, diabetes, high blood pressure and asthma. Obesity was 10 percent more prevalent in the clergy group.

The results echoed recent internal surveys by the Evangelical Lutheran Church in America, which found that 69 percent of its ministers reported being overweight, 64 percent having high blood pressure and 13 percent taking antidepressants.

A 2005 survey of clergy by the Board of Pensions of the Presbyterian Church also took special note of a quadrupling in the number of people leaving the profession during the first five years of ministry, compared with the 1970s.

Roman Catholic and Muslim clerics said the symptoms sounded familiar.

“We have all of these problems, but imams are reluctant to express it because it will seem like a sign of weakness,” said Imam Shamsi Ali, director of the Jamaica Muslim Center in Queens. “Also, mosques do not pay much and many of them work two jobs.”

Catholic canon law requires priests — “unless there is a grave reason to the contrary” — to take a spiritual retreat each year, and four weeks of vacation.
That vacation regulation has led Msgr. Gus Bennett of Brooklyn to take a camping trip on horseback in the Wyoming wilderness with friends every year for 30 years.
Monsignor Bennett, 87, a canon lawyer, now semi-retired, who spent most of his working years setting up and managing the pension plan for priests and lay employees of the Diocese of Brooklyn, says he has always felt his religious side to be most alive during those nights in Wyoming, “sleeping on the ground, under the whole of creation.”

He does not know how it affected his health. “I just know it made it easier to come back and jump into the books,” he said.

Monday, August 9, 2010

From chancel to narthex

In the chancel the pastor works in an atmosphere of acknowledged faith – every detail is clear, symmetrical, and purposed under the sign of redemption; in the narthex things are very different. The people, having received the benediction, now make a disorderly re-entry into a world of muddled marriages and chaotic cities, midlife boredom and adolescent confusion, ethical ambiguity and emotional distress. The pastor who has just lifted the cup of blessing before the people now shakes hands with the man whose wife has left him for another; the pastor who has just poured the waters of baptism on the head of an infant now sees pain in the eyes of the mother whose teenager is full of angry rebellion. The pastor who has just addressed a merciful Father in prayer now arranges to visit a bitter and cynical executive who has been unexpectedly discharged from his job; the pastor who has just been confidently handling the scriptures now touches hands that are tense with anxiety and calloused in a harsh servitude. (p. 74-75)

[Kalau ada yang kurang paham, chancel mungkin boleh disebut saja ruang ibadah, sedangkan narthex ruang lobby. Demikian simpelnya. Yang perlu ditekankan di sini, perbedaan suasana di dua ruang tersebut tak berarti bahwa kita hidup di dua dunia terpisah: di ruang ibadah, surgawi; di luar, duniawi atau bahkan satanik. Tidak begitu. Saya justru melihat bahwa tugas seorang pendeta tak berhenti pada memimpin ibadah di chancel, namun berlanjut hingga ke narthex, ke kehidupan sehari-hari setiap anggota jemaat dengan tantangan dan kesulitannya masing-masing. Seorang pendeta yang habis khotbah terus pulang sebenarnya bukan gembala; ia mungkin aktor/aktris atawa selebritis.]

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Saturday, August 7, 2010

One day's wages

sebuah gerakan kreatif-shalomik diprakarsai oleh seorang pastor korean, eugene cho. i'm so impressed by this movement and think it's good to share the clip with you. memang benar, seringkali upaya sederhana, jika dikerjakan dengan setia, dan diatur dengan bijaksana, bisa membawa dampak yang positif. bonhoeffer pernah berkata, saya kutip dari blog eugene juga, "one act of obedience is better than one hundred sermons." may god bless our works!



Monday, August 2, 2010

Teks tentang cinta

Another poem by Silado. Taken from the same book, p. 65.

Teks tentang cinta

Jika aku hilang mata
a. Buta
Jika aku hilang kuping
b. Tuli
Jika aku hilang kaki
c. Lumpuh
Jika aku hilang tangan
d. Buntung
Jika aku hilang rambut
e. Botak
Jika aku hilang harta
f. Miskin
Jika aku hilang semuanya
g. Pasrah
Asal jangan hilang hati untuk mencintai

Ekawicara

A mailing list friend posted it, and I think I want to share it with you here. It is taken from Silado (761 or 461)'s book of poem, "Puisi-puisi Remy Silado," p. 59-62.

EKAWICARA

kita sama sudah mengusir
tujuh waris dosa adam dosa hawa
yang sombong
yang marah
yang iri
yang makan berlebihan
yang malas
yang tamak
yang menyatu dalam daging
yang menyatu dalam atma
yang menyatu dalam sejarah

kita sama sudah mengusir
tujuh waris dosa adam dosa hawa
sebab kita lagi memuji sang penebus
tapi rudolf bultman
tapi dietrich bonhoeffer
tapi paul tillich
tapi j.h. muhler
tapi j.a.t. robinson
tapi jurgen moltman
tapi wolfhart pannenberg
dilenakan menjadi megah dalam teologi
teologi yang mengajar orang ngotot
teologi yang mengajar orang otonom
teologi yang mengajar orang rasional
teologi yang melupakan penyerahan diri

buang beban teologi
supaya kita terima penebusan dosa adam dosa hawa
dalam rumus penyerahan diri
dalam putih
dalam polos
dalam transparan
dalam tembus ruang
supaya nyata tuhan pada salib

tuhan awal
awal tuhan
tuhan dalam
dalam tuhan
siapa tuhan
tuhan siapa
kalau bukan Tuhan
tuhan jawab
jawab tuhan
bukan dalam akal
kendati akal dalam
dalam hati
hati dalam
dalam iman
iman dalam
dalam kini
tuhan masuk
masuk tuhan
kerna penyerahan diri

kita anak semua zaman
anak menangis
anak derita
anak dosa
dosa adam dosa hawa
berpacu lebih keras dari kebaikan

di gelap kita tersembunyi dalam topeng
bukan kerna kita aktor-aktor kampiun
dalam satu teater
di mana pengarang bercita-cita kalahkan kepalsuan
dengan kebaikan dengan moral
seperti sophokles pernah dipuji
seperti shakespeare pernah dipuji
seperti shaw pernah dipuji
seperti sartre pernah dipuji
tapi topeng sembunyikan kita dari dusta
adakah sutradara yang bisa kendalikan keindahan?
jika keindahan berawal dari golgota
dan bukan dari taman eden

roh kita roh tujuh waris dosa adam dosa hawa
kita mencari ketentraman dalam kesenangan
kita senang kita ketawa
dalam topeng
dalam teater
dalam cita-cita
dalam idealisme
dalam ambisi tepuk tangan
sementara dalam nurani kita diimbau-imbau
ke cermin asali makin tua makin jelek
makin hilang keperkasaan
makin hilang ketegaran
makin hilang keceriaan
makin hilang kegesitan
makin hilang kekuatan
kecuali makin mau hidup lama
dalam kesia-siaan daging
dalam dosa waris adam waris hawa

berbisiklah bukan pada orang terkasih
sebab kekasih dapat berkhianat
berbisiklah bukan kepada harum bunga
sebab setelah berkembang bunga akan layu
berbisiklah bukan kepada langit cerah
sebab setelah cerah akan datang awan memele
berbisiklah bukan kepada angin sepoi
sebab setelah sepoi berlalu datang badai
berbisiklah bukan kepada terang bulan
sebab setelah purnama redup datang gerhana
berbisiklah bukan kepada terik mentari
sebab setelah senja segera gelap mengganti
berbisiklah kepada nurani
sebab nurani wilayah mahkamah ilahi
di situ muncul tuhan dengan kasih abadi
dalam nyatanya kita lebih suka jadi batu
tidak mendengar bisikan ilahi
dalam nyatanya kita memang harus lahir baru
membuka hati akan bisikan ilahi.

Thursday, July 29, 2010

Mengapa para pendeta tidak mencari bantuan

Saya baru membaca catatan singkat Kenneth Maresco, “Accountable Pastors/Accountable Churches,” yang disampaikannya dalam 2005 Sovereign Grace Pastor’s Conference, dari sebuah blog yang mempromosikan church planting. Dalam post itu dikatakan ada 30 alasan mengapa para pendeta tidak mau mencari bantuan bagi masalah-masalah dalam kehidupan mereka. Wah ternyata banyak juga ya. Catatan itu telah saya terjemahkan secara bebas. Selamat merenung!
  1. Saya ngga perlu bantuan untuk yang satu ini; saya tahu kok apa yang harus saya lakukan.
  2. Apakah saya memang perlu bantuan? Saya kan pendeta.
  3. Saya akan mengakuinya kalau saya sudah benar-benar bertobat.
  4. Saya punya Alkitab, saya punya Roh Kudus, saya harus bisa mengatasinya sendiri.
  5. Yang kulakukan bukan dosa “besar,” maka itu juga bukan urusan besar.
  6. Yang kulakukan bukan dosa yang berbahaya, cuma sekali-sekali.
  7. Mereka hanya akan memberitahukan apa yang sebenarnya saya sudah tahu.
  8. Saya bisa berubah sendiri. Saya ngga benar-benar perlu bantuan orang lain.
  9. Ini sesuatu yang saya masih usahakan.
  10. Saya sedang mengalami kemajuan jadi saya ngga perlu menceritakan hal ini.
  11. Saya hanya perlu melaksanakan nasihat yang telah saya terima.
  12. Kalau saya bisa lolos itu bukan kemampuan saya, tapi mungkin juga yang saya lakukan itu bukan suatu dosa.
  13. Saya sudah melihat masalah hati saya secara jelas.
  14. Kan orang lain sudah tahu masalah ini, buat apa saya mengakuinya lagi?
  15. Saya sudah bertobat dan berubah.
  16. Saya sudah mengakui dosa saya pada Allah dan istri saya.
  17. Saya telah mengakui dosa saya pada orang yang mengenal saya dengan baik.
  18. Ada masalah lain dalam kelompok itu yang lebih besar daripada ini.
  19. Mereka ngga benar-benar mengerti pergumulan saya.
  20. Saya punya banyak tanggung jawab. Saya tidak mau buang-buang waktu dan tenaga. Saya harus menjadi penatalayan yang baik atas waktu dan tugas-tugas yang dipercayakan pada saya.
  21. Mereka tidak bisa bantu saya. Ini terlalu berat buat mereka.
  22. Saya tidak yakin apakah saya bisa mempercayakan informasi ini pada mereka.
  23. Mereka ngga akan menghormati saya lagi kalau saya menceritakan hal ini.
  24. Mereka sibuk, terlalu sibuk untuk mendengarkan pengakuan saya sekarang.
  25. Saya tidak tahu apakah saya memang bisa berubah.
  26. Saya tidak percaya teman-teman dalam kelompok saya juga kuat dalam hal ini. Jangan-jangan mereka sama saja dengan saya.
  27. Mereka ngga bakal menanggapi dengan baik kalau saya menyampaikan pengakuan dosa yang sama lagi.
  28. Apa yang akan terjadi kalau mereka sampai tahu hal ini?
  29. Saya ingin punya reputasi hidup baik. Saya ingin orang berpikir bahwa saya bisa mengatasi semua masalah kehidupan dan mengenali dosa-dosa saya sendiri.
  30. Saya tidak mau kelihatan buruk, saya tidak mau kelihatan buruk, saya tidak mau kelihatan buruk.

Wednesday, July 28, 2010

Mengenali penyembahan berhala dalam hasrat

Tulisan berikut ini saya terjemahkan secara bebas dari tulisan John Piper berjudul Discerning idolatry in desire: 12 ways to recognize the rise of covetousness. Link kepada tulisan tersebut bisa anda dapatkan di sumber post ini.

Mengenali penyembahan berhala dalam hasrat
12 jalan mengenali terbitnya dosa mengingini
Oleh John Piper

Kebanyakan kita menyadari bahwa menikmati sesuatu selain Allah, dari hadiah terbaik hingga kesenangan liar, dapat menjadi penyembahan berhala. Paulus berkata dalam Kolose 3:5, "Keinginan kuat untuk memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain (covetousness) merupakan penyembahan berhala."

Covetousness berarti menghasratkan sesuatu selain Allah dengan cara yang salah. Tapi apa arti "dengan jalan yang salah"?

Alasan mengapa ini penting mencakup dua: vertikal dan horisontal. Penyembahan berhala akan menghancurkan hubungan kita dengan Allah. Dan ia akan menghancurkan hubungan kita dengan orang lain.

Semua masalah relasional manusia - dari pernikahan dan keluarga hingga pertemanan - berakar dalam aneka ragam bentuk penyembahan berhala, yakni, mengingini hal-hal selain Allah dengan jalan yang salah.

Ini usaha saya untuk berpikir secara alkitabiah menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan-jalan yang salah itu. Apa yang membuat sebuah kenikmatan bersifat pemberhalaan? Apa yang menyebabkan sebuah hasrat menjadi covetousness, yang adalah penyembahan berhala?

1. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia dilarang oleh Allah. Sebagai misal, perzinahan, percabulan, pencurian, dan kebohongan dilarang oleh Allah. Beberapa orang pada saat-saat tertentu merasa perbuatan-perbuatan ini mendatangkan kesenangan, kalau tidak, tentu kita tak akan melakukannya. Tak seorang pun berdosa karena kewajiban. Namun kesenangan yang demikian merupakan tanda penyembahan berhala.

2. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak sesuai dengan nilai dari apa yang dihasratkan. Hasrat besar akan hal-hal yang tak bernilai besar merupakan tanda bahwa kita mulai menjadikan hal-hal tersebut berhala.

3. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak dipenuhi dengan ucapan syukur. Ketika kenikmatan kita akan sesuatu cenderung membuat kita tidak berpikir mengenai Allah, ia bergerak menuju penyembahan berhala. Namun jika kenikmatan itu membangkitkan perasaan bersyukur pada Allah, kita terlindung dari penyembahan berhala. Perasaan bersyukur bahwa kita tak pantas menerima pemberian ini atau kenikmatan ini, namun bisa memperolehnya secara gratis dari anugerah Allah, adalah bukti bahwa penyembahan berhala sedang dikendalikan.

4. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tidak melihat dalam pemberian Allah bahwa Allah sendiri yang seharusnya lebih dihasratkan daripada pemberian itu. Jika pemberian itu tidak menghidupkan perasaan bahwa Allah, Sang Pemberi, lebih baik daripada pemberian-Nya, ia menjadi berhala.

5. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia mulai terasa sebagai hak, dan kesukaan kita menjadi suatu tuntutan. Bisa jadi suatu kesukaan merupakan hak. Bisa jadi orang lain harus memberikan anda kesukaan ini. Boleh jadi benar memberitahukan mereka hal ini. Namun ketika semua ini naik sampai ke level tuntutan-tuntutan yang disertai kemarahan, penyembahan berhala pun terbit.

6. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia menarik kita jauh dari tugas-tugas panggilan kita. Ketika kita melulu menghabiskan waktu mengejar sebuah kenikmatan, mengetahui bahwa hal-hal lain, atau orang lain, harus kita perhatikan, kita sedang bergerak menuju penyembahan berhala.

7. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia membangkitkan perasaan sombong bahwa kita bisa mengalami kesukaan ini sementara orang lain tidak. Ini khususnya benar berkenaan dengan kesukaan dalam hal-hal religius, seperti doa, membaca alkitab, dan pelayanan. Menikmati hal-hal yang kudus itu sangat baik. Tapi merasa sombong bahwa kita bisa itu bersifat pemberhalaan.

8. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia cuek atau tak peduli pada kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan orang lain. Kenikmatan yang suci peka akan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan bisa meninggalkan kesenangan yang baik untuk sementara waktu demi membantu orang lain memperolehnya. Seseorang mungkin meninggalkan doa pribadinya untuk menjadi jawaban bagi doa orang lain.

9. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tak menginginkan Kristus dibesarkan sebagai kenikmatan tertinggi melalui kenikmatan itu. Menikmati apapun kecuali Kristus (seperti pemberian-pemberian-Nya yang baik) membawa risiko tak terelakkan membesarkan pemberian di atas Sang Pemberi. Satu bukti bahwa penyembahan berhala tak sedang terjadi adalah hasrat yang jujur bahwa ini tak terjadi.

10. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika ia tak mengerjakan kemampuan lebih dalam akan kesukaan yang suci. Kita masih orang berdosa. Kita menyembah berhala jika kita puas dengan dosa. Maka kita menginginkan transformasi. Beberapa kenikmatan menciutkan kapasitas kita akan sukacita yang kudus. Lainnya memperbesar kapasitas tersebut. Beberapa memperbesar atau memperkecil tergantung dari bagaimana kita berpikir mengenai mereka. Ketika kita tak peduli apakah sebuah kenikmatan menjadikan kita lebih suci atau tidak, kita sedang bergerak menuju penyembahan berhala.

11. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika kehilangannya menghancurkan kepercayaan kita pada kebaikan Allah. Ada kedukaan karena kehilangan yang tidak bersifat pemberhalaan. Namun ketika kedukaan mengancam keyakinan kita pada Allah, ini menandakan bahwa kehilangan hal itu menjadi sebuah berhala.

12. Kenikmatan menjadi penyembahan berhala ketika kehilangannya melumpuhkan kita secara emosional sehingga kita tak bisa berelasi dengan kasih dengan orang lain. Ini merupakan dampak horisontal dari kehilangan keyakinan pada Allah. Sekali lagi: kedukaan besar bukanlah tanda pasti penyembahan berhala. Yesus juga memiliki dukacita besar. Namun ketika hasrat kita disangkali, lalu dampaknya adalah ketidakmampuan emosional untuk melakukan apa yang Allah kehendaki agar kita lakukan, tanda-tanda peringatan terhadap penyembahan berhala sedang berkedip.

Bagi diri saya sendiri dan bagimu, saya mendoakan peringatan dari 1 Yohanes 5:21, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala."

Sumber: Desiring God

Tuesday, July 27, 2010

Megilloth

Pembahasan mengenai buku Song of Songs atau Kidung Agung berakhir sampai di sini. Setelah ini EP membahas kitab Ruth. Mungkin anda belum tahu mengapa EP membahas kitab-kitab tertentu saja dalam buku ini. Begini. Dalam alkitab Ibrani ada yang dikenal dengan nama "Megilloth." Megilloth terdiri dari 5 gulungan kitab, yaitu Song of Songs, Ruth, Lamentations, Ecclesiastes, dan Esther. Menurut EP, the appropriateness of the Megilloth as documents for pastoral work is suggested by their use in Judaism, where we find that they are assigned readings at five of Israel’s annual acts of worship. (p. 14)

Nah oleh orang Ibrani Megilloth dipakai sebagai bacaan dan panduan dalam ibadah. Bagi EP kitab-kitab tersebut juga sangat bermanfaat bagi pastoral work:

Learning how to love and pray in the context of salvation (Song of Songs); developing an identity as a person of faith in the context of God’s covenant (Ruth); dealing with suffering in the context of redemptive judgment (Lamentations); unmasking religious illusion and pious fraud in the context of providential blessing (Ecclesiastes); and becoming a celebrative community of faith in the environment of the world’s hostility (Esther). (p. 17)

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Spiritual diagnostic questions
















Apa mimpi terburuk saya? Apa yang paling saya khawatirkan?
What is my greatest nightmare? What do I worry about most?

Jika saya gagal atau kehilangan sesuatu, apa yang membuat saya merasa tak ingin hidup lagi? Apa yang membuat saya melanjutkan hidup?
What, if I failed or lost it, would cause me to feel that I did not even want to live? What keeps me going?

Apa yang saya andalkan, yang menghibur saya ketika hal-hal buruk atau sulit terjadi?
What do I rely on or comfort myself with when things go bad or get difficult?

Apa yang paling mudah saya pikirkan? Ke manakah perginya pikiran saya ketika saya seorang diri, santai, tak bekerja? Apa yang memenuhi pikiran saya?
What do I think most easily about? What does my mind go to when I am free? What preoccupies me?

Jika doa saya tak terkabul, apa yang membuat saya dengan serius berpikir untuk berpaling dari Allah?
What unanswered prayer would make me seriously think about turning away from God?

Apa yang membuat saya merasa amat bernilai atau berharga? Apa yang paling saya banggakan?
What makes me feel the most self-worth? What am I the proudest of?

Apa yang sungguh-sungguh saya inginkan dan harapkan dari kehidupan? Apa yang benar-benar membuat saya bahagia?
What do I really want and expect out of life? What would really make me happy?

Versi yang lebih extensive bisa diunduh di sini

Monday, July 26, 2010

Find us faithful

Salah satu karya Steve Green yang sangat menguatkan iman. Semoga dapat memberkati anda.



We're pilgrims on the journey
Of the narrow road
And those who've gone before us line the way
Cheering on the faithful, encouraging the weary
Their lives a stirring testament to God's sustaining grace

Surrounded by so great a cloud of witnesses
Let us run the race not only for the prize
But as those who've gone before us
Let us leave to those behind us
The heritage of faithfulness passed on through godly lives

Chorus:
Oh may all who come behind us find us faithful
May the fire of our devotion light their way
May the footprints that we leave
Lead them to believe
And the lives we live inspire them to obey
Oh may all who come behind us find us faithful

After all our hopes and dreams have come and gone
And our children sift though all we've left behind
May the clues that they discover and the memories they uncover
Become the light that leads them to the road we each must find (repeat chorus)

Favoritisme

Without the solitude of heart, our relationships with others easily become needy and greedy, sticky and clinging, dependent and sentimental, exploitative and parasitic, because without the solitude of heart we cannot experience the others as different from ourselves but only as people who can be used for the fulfillment of our own, often hidden, needs.

[Favoritisme. Kalau orangtua punya anak favorit, guru punya murid favorit, gembala juga punya domba favorit. Tapi apa sebenarnya yang membuat kita mem-favorit-kan orang-orang tertentu? Karena mereka lebih 'subur' daripada yang lain? Lebih indah? Suka memberi atau memuji? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita memerlukan the solitude of heart. Kita tak bisa meresponinya ketika kita tengah sibuk melayani. Oleh karena itu, kita perlu menyendiri, bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara batiniah. Apa yang kita cari dan inginkan dari orang-orang yang kita layani? Nouwen benar, tanpa hati solitude, kita tak bisa mengalami orang lain sebagai yang lain, yang berbeda dari diri kita, tetapi hanya sebagai orang yang bisa kita pakai demi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kita yang seringkali tak nampak.]

Henri J. Nouwen, Reaching out: the three movements of the spiritual life (Garden City, NY: Doubleday & Company, Inc., 1975), p. 30.

Thursday, July 22, 2010

Simplifikasi

Melanjutkan diskusi buku Song of Songs (Kidung Agung), EP berpendapat bahwa kemesraan atau intimasi bukan hal yang mudah dicapai. Namun demikian, pendeta tak dipanggil to ease atau mempermudah pencapaiannya.

It is not the pastor's job to simplify the spiritual life, to devise common-denominator formulas, to smooth out the path of discipleship. Some difficulties are inherent in the way of spiritual growth - to deny them, to minimize them, or to offer shortcuts is to divert the person from true growth. It is the pastor's task, rather, to be companion to persons who are in the midst of difficulty, to acknowledge the difficulty and thereby give it significance, and to converse and pray with them through the time so that the loneliness is lightened, somewhat, and hope is maintained, somehow. (p. 51)

[Khotbah-khotbah dan kesaksian-kesaksian Kristen yang sering kita dengar atau baca, sayangnya, seringkali menyederhanakan pergumulan Kristen. Mereka disampaikan dengan tak jujur serta cenderung bombastis. Orang-orang Kristen suka mendengar atau membacanya karena bagian tersulit dari kesulitan-kesulitan dalam hidup ini telah dihapus, atau paling tidak, diturunkan kadarnya. Baiklah pendeta peka dalam hal ini.]

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Wednesday, July 21, 2010

Kiss me!

Saya sangat menyukai tulisan-tulisan Eugene Peterson (EP). Isu-isu sederhana bisa diulasnya dengan kata-kata yang kaya dan dinamis. Di blog ini, kalau sempat, saya akan post secara berkala quotes dari buku-bukunya dengan disertai sedikit comments.

Salah satunya ini, ia membahas bagaimana buku Song of Songs atau Kidung Agung relevan dengan pastoral work.

… the first word in the Song (in Hebrew) is "Kiss me!" (yissaqeni) - a direct, and passionate, appeal for intimacy. This person does not want to talk about theology, does not want to gossip about love, does not want to get on a committee to do something for God. There is no time for cultural "platonic" conversation, no use for that which in the theological world goes under the label of "apologetics." The lonely isolation of the solitary person must be invaded. Life, to be meaningful, must be joined: intimacy is a requirement of wholeness.

[Ketika seorang kekasih berkata, "Kiss me!," kita tahu, yang ia minta dari kita tak lain dari sebuah respon yang relevan, yakni sebuah action yang menyambut ajakan mewujudkan cinta.]

Pastoral work is familiar with the demand, if not so familiar with its bold expression (for not so many know what they need so clearly, or are so bold to express it directly). All those who have heard the word of salvation and have responded to it in faith are on the way to realizing its implications in their daily lives. The desire is expressed either openly or circuitously. It may or may not be expressed to the pastor, but it is always expressed somehow or other in the community in which the pastor works. We are trained to have ears to hear the inarticulate "Kiss me!" that is hidden under all kinds of other demands and requests. (p. 45-46)

[Jika saya terjemahkan secara bebas, kira-kira seperti ini: Apakah kita cukup terlatih untuk mendengar kata mesra "Kiss me! yang tak terucap itu, yang tersembunyi di balik tuntutan-tuntutan dan pemintaan-permintaan mereka yang kita layani? Tuntutan dan permintaan dimaksud bisa dikemas dalam bentuk permintaan memperoleh visitasi, counselling, penjelasan khotbah lebih lanjut, bahkan penyampaian kritik dan protes.]

Sumber:
Eugene H. Peterson, Five smooth stones for pastoral work (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992).

Monday, July 19, 2010

Sebuah perjalanan panjang satu arah

Kalau nanti saya sempat menjadi tua, akankah saya tetap setia seperti Pdt. Charles Simeon? Semangat juang yang tak padam oleh waktu.

Tahun 1836, Pdt. Charles Simeon pensiun setelah 54 tahun melayani di Gereja Holy Trinity, Cambridge, UK. Di sana, selama bertahun-tahun ia menyampaikan khotbah expository, dan melalui khotbah-khotbahnya beberapa generasi pemimpin-pemimpin muda Kristen terpanggil untuk bersaksi dan berkiprah dalam masyarakat British. Kesuksesan pelayanannya sungguh gemilang, boleh dibilang melampaui siapapun. Namun seorang temannya menemukan bahwa orang tua ini ternyata masih bangun pukul 4 subuh setiap hari untuk membaca Alkitab, berdoa, bertobat, dan bersekutu dengan Allah. Temannya berpikir bahwa ini sudah berlebihan; ia menyiksa diri sendiri. ”Pak Simeon,” ia membujuk, “Apakah kamu tidak berpikir bahwa sekarang kamu sudah pensiun, seharusnya kamu hidup lebih santai?” “Apa?!,” jawab Pdt. Charles, ”Bukankah seharusnya saya berlari dengan segenap kekuatan saya ketika garis akhir sudah di depan mata?”

Membaca cerita mengenai Pdt. Charles ini mengingatkan saya akan buku Eugene Peterson yang berjudul A Long Obedience in the Same Direction. Saya kira itulah esensi dari menjadi murid Kristus.

Dunant dan salib merah

Tadi sore rumah sewa kami didatangi 2 pemuda gagah (satunya orang Korea, mukanya macam bintang film terkenal) dengan salib merah tersemat di dada. Mereka ramah dan persuasif. You know, ujung-ujungnya minta sumbangan juga. Saya kirain mau nawarin main film bareng, hehee. Iya, mereka dari Canadian Red Cross. Kalau di Indonesia disebut sebagai Palang Merah Indonesia (PMI). Sebenarnya, sudah lama saya tertarik ingin tahu lebih jauh mengenai organisasi sosial ini. Dengan kunjungan mendadak 2 pemuda tadi, saya termotivasi untuk mempelajari Red Cross via google. Salah satu artikel yang saya temui, bisa anda baca di bawah, ditulis secara singkat oleh David Neff. Bacalah! Henri Dunant patut dijadikan model bagi Christian humanitarian. Ia seorang Calvinist. Kalau banyak orang evangelical hari ini melulu curiga terhadap karya sosial membantu orang-orang miskin, seakan setiap perjuangan membela mereka berarti mempraktikkan social gospel, asal tahu saja bahwa bapak kaum Evangelical, John Calvin sendiri yang mewariskan spirit charity kepada dunia. Menurut saya, justru aneh mendaku calvinist tetapi sinis terhadap perjuangan sosial.

Dunant bukan seorang jenius dengan title PhD dari dunia akademik. Ia bahkan tidak lulus university. Sempat dalam perjalanan karirnya, ia mengalami kebangkrutan dan dituduh sebagai penyebab. Hancurlah nama baiknya seketika itu. Tapi Tuhan baik, dengan bantuan seorang jurnalis, namanya kembali diangkat, dan akhirnya ia dianugerahi Nobel Peace Prize. Ia termasuk orang pertama di muka bumi yang meraih anugerah prestisius tersebut.

Ok, saya tak ingin berpanjang-panjang lagi. Satu hal yang saya sayangkan, sebagaimana juga telah diungkapkan dalam artikel Neff, Red Cross nampaknya telah lepas dari sejarahnya sendiri. Dunant disebut-sebut tanpa visi kristen yang telah mempengaruhinya. Maka, saya tidak heran, 2 pemuda tadi juga datang tak ubahnya salesmen. Yang penting bisa dapatkan nomor check atau credit card orang, sudah itu pergi dan lupa.

Compassionate in War, Christian in Vision
The man behind the Geneva Conventions knew the heights of success and the depths of failure.

David Neff

Friday, August 8, 2008
This year I read the Geneva Conventions for the very first time. The photos from Abu Ghraib prison made me want to read the classic international agreements about the treatment of prisoners in time of war, and I needed to write an editorial for Christianity Today about the implications of the abuses there.

Reading those documents—as well as the other conventions about the treatment of the wounded, those shipwrecked at sea, and civilians under enemy control—I had a profound sense that a Christian vision undergirded these texts.

Unfortunately, when I went to the website of the International Committee of the Red Cross, I found just the barest hint that the man behind the ICRC and the first Geneva Conventions might have been motivated by a Christian vision. The ICRC web page devoted to founding visionary Henry Dunant (1828-1910) says only that he "came from a very devout Calvinist family that practised charity."

Further research on the Internet and a summer vacation visit to ICRC headquarters in Geneva expanded my understanding of Dunant's Christian vision. Here's what I found: According to Pam Brown's Henry Dunant, the only English-language biography of Dunant I found at the ICRC bookstore, Henri Dunant's parents left the "official church" and joined the "Church of the Awakening, a group which insisted on active charity." I have found no other mentions of an organization by this name in Switzerland in the 1830's and '40s, though I have found plenty of references to an evangelical awakening inside and later outside the Reformed church in Switzerland.

The Swiss website of the Henry Dunant Society reports that Dunant, who failed miserably in his studies at Geneva's Collège Calvin, had nevertheless won the piety prize in school and was an avid listener to the sermons of evangelical preacher Louis Gaussen at the Oratory. Gaussen had been suspended for his revival activities by Geneva's Venerable Company of Pastors and subsequently took part in the formation of the Société; Evangélique, the Free Faculty of the Oratory, and the Evangelical Church of the Oratory (Free). Under Gaussen's preaching, says the Dunant Society website, young Henri "literally nourished himself on the 'Awakening' of the Protestant church." (Beware of machine translations on French websites about spiritual renewal, since the French word for "awakening" also means "alarm clock" which can produce amusing—and alarming—translations.)

Organization man

As a young man, Henri Dunant participated in the kind of free-wheeling association that seems to be typical of evangelical religion everywhere. In about 1848, at age 20, he organized a group of like-minded young men known first as the Thursday Meeting, and soon after as the Union of Geneva. Their aim was to be "more effective in Christian charity," "to heat up the lukewarm" believers, and to "convert those who had not met God" (Société; Henry Dunant).

In the years that followed, the young Dunant showed tremendous organizational ability, and soon built bridges between his group in Geneva and likeminded groups elsewhere—including the Young Men's Christian Association, which had been founded in London in 1844 by George Williams. Dunant suggested that these groups should cooperate internationally, and as a result representatives met in Paris in August 1855 and formed the World Alliance of YMCAs.

Dunant's vision is captured in these quotations from a YMCA website: "Leading up to the World Conference, Henry Dunant … reflected in 1852 on the international and ecumenical dimensions of the YMCA, considering the imperative of 'one body, many members': ' … Be persuaded that we are members for each other, with solidarity for each other; we are only one and the same family, destined to glorify Jesus … ' In the same line, in 1855, he lay the foundation of what was to be the World Alliance of YMCAs: 'Let each therefore bring his stone towards the building of the edifice; be it ever so small, it must help towards the construction of the mansion.'"

Dunant may have been forced to drop out of school for poor performance, but he was a genius at vision and organization. That talent showed up a few years later when he chanced on a battlefield in northern Italy.

Bloody battle

The date was June 24, 1859. Dunant was on his way to see the French emperor, Napoleon III. Several years earlier, Dunant had been sent to Algeria to supervise some business interests there, but being the devout evangelical he was, he saw it as an opportunity to create economic opportunity for poor Algerians and to spread the gospel as well. His main problem on the business front was that he was Swiss, and Algeria was a colony of France. Local officials made it difficult for him to obtain the permits he needed, and so he decided to go straight to the Emperor to ask for concessions.

A tragic thing happened on the way to his imperial appointment: the bloody battle of Solferino. The Italians and the French were trying to drive Austrian forces out of occupied Italian lands. By the morning of June 25, wounded soldiers lay everywhere. An estimated 40,000 soldiers were killed or wounded that day.

On a European battlefield in the 19th-century, a wound was almost a death sentence. The armies had not yet developed efficient ways to transfer wounded soldiers to medical facilities at the rear of the operations. The warring parties considered physicians and nurses as combatants, and those who tried to bandage and care for the wounded were considered fair targets. No one would help a wounded enemy, since a bloodied soldier lying on a battlefield could be playing a trick and would just as likely stab you or shoot you if you tried to help. The result was that people bled to death, died of dehydration, or succumbed to aggressive infections that set in before medical personnel could attend to their wounds.

The horrible scene was more than Dunant could handle. Almost anyone else would have run away in horror, but this visionary genius saw the opportunity to use his organizational skills to maximize the effectiveness of limited resources. He soon had neighboring townspeople organized, had the wounded moved into homes, chapels, and even a castle, and begged material support from local nobles. Most remarkably, he persuaded people to care equally for the wounded enemy. Tutti fratelli, All are brothers, he kept telling the local volunteers. It was a concrete demonstration of a Christian vision.

The book of sorrows

After the battle, Dunant wrote a little book, A Memory of Solferino. This book publicized the horrors of war in the way that Uncle Tom's Cabin created a public awareness of the horrors of slavery. Neither war nor slavery was hidden from public view, but a writer with a conscience can make readers confront a reality they would otherwise turn away from. (The ICRC makes the full text of A Memory of Solferino available on its website.)

The reaction to A Memory of Solferino brought swift results. The first edition of the book was published in November 1862. By February 1863, enough movers and shakers had indicated an interest in concrete action that a Committee of Five convened to lay plans for action. By October of 1863, Dunant had gathered in Geneva thirty-one delegates representing sixteen nations to discuss his vision. The core of Dunant's idea was neutrality. If medical personnel on the battlefield could be considered neutral parties by both sides, the wounded could be treated and many lives saved. It was a controversial idea, but Dunant won the day.

Clearly, there would have to be a way to identify these neutral parties, and Dr. Louis Appia, another member of the Committee of Five, suggested a symbol: a red cross on a white background (the reverse of the Swiss flag). The symbol could be painted on ambulances, and on the battlefield, medical workers could wear it on an armband.

The 1863 conference was a success, but broader support and a more formal agreement was needed, and so a Diplomatic Conference was planned for the summer of 1864.

1863 had also been the year of Abraham Lincoln's Emancipation Proclamation, and Dunant was excited by Lincoln's bold stroke. To the dismay of his European colleagues, Dunant invited—nay, pressured—the American president to send delegates to the conference. Hogtied by political concerns, Lincoln could only send observers.

Geneva

As a result of the August 1864 conference, twelve nations signed the ten articles that formed the first Geneva Convention. According to biographer Pam Brown's summary, this document "guaranteed neutrality for ambulances, hospitals and medical workers and their equipment; for local inhabitants who were helping the wounded; for wounded enemy soldiers and it also required their captors to treat their wounds or to arrange for this to be done. It spelled out the obligation of armies to search for and collect the wounded. Finally, it established the red cross on a white background as an international symbol of protection and neutral assistance in times of war." By the end of 1867, twenty-one nations had signed the Convention.

Disgrace and honor

This success was the high point of Dunant's life, which quickly fell apart. Perhaps his humanitarian crusades drew his attention away from business interests. But for whatever reason, his business went bankrupt, and the Court of Civil Law blamed him for the disaster. Brown writes: "He was held to have deceived his colleagues and this verdict was published in the Geneva newspapers. … At the age of thirty-nine, just eight years after Solferino, Dunant had lost everything. He had lost his standing as a citizen of Geneva, he was a bankrupt, branded as the cause of the disaster publicly, and, worst of all, he lost his position in the Red Cross in Geneva."

Bankruptcy was a major disgrace in Geneva at this time, and though he vowed to work hard to repay all his debts, many of his friends never forgave him. Writes Brown, "Humiliated, Dunant left Geneva forever."

Dunant moved to Paris and continued to be active in humanitarian causes. Unfortunately, none of his business enterprises succeeded, and he was eventually reduced to utter poverty. He wandered, shuttling back and forth between Paris and Trieste, London, Stuttgart, Corfu, the Isle of Wight, and several German cities. Finally, in July of 1887, he returned to Switzerland "sick, shabby, and old" and settled in the mountain village of Heiden. From this rural location, he wrote letters to old acquaintances and tried to reestablish himself, but he met with little success. Perhaps the world would never again have heard of Henry Dunant, if it hadn't been for a journalist who was hiking in the mountains nearby. In casual conversation he heard about an old man living in a hospital in Heiden who claimed to be the founder of the Red Cross. The journalist had a nose for a good story, and he made an appointment to interview Dunant. The resulting publicity brought a wave of new attention, and honor and recognition were once more bestowed on this Christian visionary. Perhaps the chief honor came in 1901: the very first Nobel Peace Prize, which he shared with Frederic Passy, the founder of the first French peace organization.

The honor of receiving the Nobel helped to heal Dunant's feelings of deep humiliation, though he spent none of the considerable prize money. Instead, he left bequests to the people who had cared for him in Heiden, money to fund a free hospital room for the poor of Heiden, and sums to various charities in Norway and Switzerland. Dunant acted the Christian humanitarian to the last.

Copyright © 2004 Christianity Today.